"Tap, tap, tap, tap, tap..." Aku merasakan darah mengering dari wajahku dan jantungku berhenti berdetak. Dengan putus asa aku mencoba untuk menenangkan diriku, aku memberitahu diriku sendiri bahwa itu hanyalah suara angin atau mungkin suara ranting pohon. Aku membesarkan volume TV untuk meredam suara ketukan tersebut. Pada akhirnya, suara tersebut berhenti sama sekali.Pada saat itulah ketika kakek memanggilku. "Apa kau baik-baik saja di sana?" Tanyanya.
"Kalau kau takut kau tidak perlu tinggal di sana sendirian. Aku bisa masuk dan menemanimu" Aku tersenyum dan bergegas untuk membuka pintu namun kemudian aku menghentikan langkahku. Sekujur tubuhku terasa merinding. Suara itu terdengar seperti suara kakek namun entah bagaimana rasanya berbeda. Aku tak bisa menjelaskannya, aku hanya tahu itu. "Apa yang kau lakukan?" Tanya kakek. "Kau boleh membuka pintunya" Aku menoleh ke arah kiriku dan sebuah perasaan dingin merayapi tulangku.
Garam di mangkuk perlahan berubah menjadi hitam.Aku mundur dari pintu. Seluruh tubuhku gemetar ketakutan. Aku jatuh berlutut di hadapan patung Buddha dan mencengkram erat-erat lembaran perkamen di tanganku. Dengan putus asa aku mulai berdoa untuk pertolongan."Tolong selamatkan aku dari Hachisakusama" raungku. Kemudian aku mendengar suara di luar pintu berkata, "Po... Po... Po... Po... Po..."
Ketukan jendela mulai terdengar kembali. Aku dikuasai oleh rasa takut dan aku berjongkok di depan patung, setengah menangis dan setengah berdoa selama sisa malam itu. Rasanya seperti tidak akan berakhir, namun akhirnya ternyata hari sudah pagi. Semua garam di 4 mangkuk itu benar-benar menjadi hitam pekat. Aku memeriksa jam tanganku sudah pukul 7.30 am. Dengan hati-hati aku membuka pintu.
Nenek dan K-san sedang berdiri di luar menungguku. Ketika ia melihat wajahku nenek mulai menangis. "Aku senang sekali kau masih hidup" katanya. Aku turun ke bawah dan terkejut melihat ayah dan ibuku sedang duduk di dapur. Kakek masuk dan berkata "Cepatlah! Kita harus berangkat" Kami berjalan ke pintu depan dan di sana ada sebuah mobil van hitam besar sedang menunggu di parkiran.
Beberapa pria dari desa sedang berdiri mengelilinginya, menunjuk ke arahku dan berbisik "Itu anaknya" Mobil van itu memiliki 9 tempat duduk dan mereka menaruhku di tengah-tengah, dikelilingi oleh delapan pria. K-san duduk di kursi pengemudi "Kau berada di tengah kesulitan. Aku tahu kau mungkin khawatir. Tundukkan saja kepalamu dan tutup matamu. Kami tidak bisa melihatnya, tapi kau bisa. Jangan buka matamu sampai kami berhasil mengamankanmu dari sini" Kakek mengemudi di depan dan mobil ayahku mengikuti di belakang. Ketika semua orang sudah siap, konvoi kecil kami mulai bergerak.
Kami berkendara cukup pelan sekitar 20 km/jam atau kurang. Setelah beberapa saat K-san berkata "Di sinilah yang mulai sulit" dan mulai komat-kamit membaca doa. Saat itulah dimana aku mendengar suara tersebut. "Po... Po... Po... Po... Po..."Aku mencengkeram perkamen yang diberikan K-san padaku di tanganku erat-erat. Aku tetap menundukkan kepalaku, tetapi aku mengintip keluar. Aku melihat sebuah gaun putih berkibar di tiup angin. Ia bergerak mengikuti mobil van. Tingginya delapan meter. Ia berada di luar jendela, namun ia terus melangkah bersama kami.Lalu, tiba-tiba dia membungkuk dan mengintip ke dalam van.
"Tidak!" Aku terkesiap.Pria di sampingku berteriak "TUTUP MATAMU!" Aku segera berusaha keras untuk menutup mataku dan mengencangkan genggamanku pada lembaran perkamen. Lalu mulai terdengar suara ketukan "Tap tap tap tap tap..." suara itu menjadi semakin keras "Po... Po... Po... Po... Po..." Ada ketukan di seluruh jendela di sekeliling kami. Semua pria di dalam van kaget dan pada akhirnya, mereka bergumam sendiri. Mereka tidak bisa melihat si Tinggi Delapan Meter dan mereka tidak bisa mendengar suaranya, namun mereka bisa mendengar ketukan di jendela.
K-san mulai berdoa keras-keras dan semakin keras sampai ia hampir seperti berteriak. Ketegangan di dalam van benar-benar tak tertahankan.Setelah beberapa saat ketukan itu berhenti dan suaranya menghilang.K-san menoleh ke arah kami dan berkata "Kurasa kita sudah aman sekarang" Semua pria di sekelilingku menghela nafas lega. Mobil van itu menepi di pinggir jalan dan semua pria keluar. Mereka memindahkanku ke dalam mobil ayahku. Ibuku memelukku dan air mata mengalir di pipinya.
Kakek dan ayahku menunduk pada para pria itu dan mereka pergi berjalan pulang. K-san berjalan ke jendela dan memintaku menunjukkan lembaran perkamen yang ia berikan padaku. Ketika aku membukanya, aku melihat lembaran itu berubah menjadi benar-benar hitam "Kurasa kau akan baik-baik saja sekarang," katanya "Tapi untuk meyakinkannya, peganglah benda ini untuk sementara" Dia memberikan padaku selembar perkamen baru.Setelah itu, kami berkendara menuju bandara dan kakek melihat kami aman berada di dalam pesawat.
Ketika kami sudah lepas landas orangtuaku menghela nafas lega. Ayahku memberitahuku ia pernah mendengar soal Si Tinggi Delapan Meter sebelumnya. Bertahun yang lalu, temannya telah di sukai olehnya. Bocah laki-laki itu menghilang dan tidak pernah terlihat lagi.Ayahku berkata ada orang-orang lainnya yang telah di sukainya dan masih hidup untuk menceritakannya. Mereka semua harus pergi meninggalkan Jepang dan menetap di luar negeri.
Mereka tidak pernah bisa kembali ke kampung halaman mereka.Dia selalu memilih anak-anak sebagai korbannya. Mereka bilang itu karena anak-anak masih bergantung pada orangtua dan anggota keluarganya. Ini membuat mereka mudah diperdaya ketika ia berpura-pura sebagai keluarganya. Dia berkata bahwa para pria yang berada di dalam van semuanya memiliki hubungan darah denganku, dan itulah mengapa mereka duduk mengelilingiku dan mengapa ayah dan kakekku berkendara di depan dan di belakang.
Itu semua di lakukan untuk mencoba membingungkan Hachisakusama. Butuh beberapa waktu untuk menghubungi mereka dan mengumpulkan mereka semua, itulah sebabnya mengapa aku di kurung di kamar semalaman.Dia memberitahuku bahwa benda kecil yang di sebut patung Jizo (benda dimana seharusnya ia tetap terperangkap) telah rusak dan itulah bagaimana dia bisa lolos.
Hal itu membuatku merinding. Aku senang akhirnya kami bisa pulang ke rumah.Semua ini terjadi lebih dari 10 tahun yang lalu. Aku belum bertemu kakek dan nenekku lagi sejak saat itu. Aku belum mampu menginjakkan kakiku lagi di negeri itu. Setelah itu, aku akan menelepon mereka setiap beberapa minggu dan bicara dengan mereka melalui telepon. Selama bertahun-tahun aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa itu hanyalah sebuah urban legend bahwa semua yang telah terjadi hanyalah sebuah lelucon yang rumit. Namun aku tidak terlalu yakin.
Kakekku meninggal dua tahun yang lalu. Ketika dia sakit, dia tidak mengizinkanku untuk menjenguknya dan dia juga meninggalkan perintah ketat dalam surat wasiatnya bahwa aku tidak boleh menghadiri pemakamannya. Itu semua sangat menyedihkan.Nenekku menelepon beberapa hari yang lalu. Dia berkata bahwa dia didiagnosa mengidap penyakit kanker. Dia sangat merindukanku dan ingin bertemu denganku untuk terakhir kalinya sebelum ia meninggal.
"Apa kau yakin nenek?" Tanyaku "Apakah aman?" "Sudah 10 tahun" katanya."Semua itu telah terjadi lama sekali semuanya sudah terlupakan. Kau sudah dewasa sekarang. Aku yakin tidak akan ada masalah." "Tapi...tapi... bagaimana dengan Hachisakusama?" Kataku.
Selama beberapa saat, ada keheningan di ujung telepon sana. Lalu, aku mendengar suara maskulin yang dalam "Po... Po... Po... Po... Po..."
Don't forget to give me a star😘
KAMU SEDANG MEMBACA
CreepyPasta
HorrorAlone. Yes, that's the key word, the most awful word in the English tongue. Murder doesn't hold a candle to it and hell is only a poor synonym. Source creepypasta.com and other translate by myself.