Ketika aku delapan tahun, aku punya ibu dan ayah. Kami hidup di pedesaan dan aku sangat bahagia.
Ketika aku sepuluh tahun, ibu meninggal. Ayah sedih sekali, sama sepertiku. Dengan sisa-sisa nafasnya yang terakhir, ibu berpesan agar aku selalu menjadi anak yang baik.
Ketika aku tiga belas tahun, ayah menikah lagi dan aku punya ibu serta dua saudari baru. Setelah begitu lama, untuk pertama kalinya kami merasa bahagia.
Ketika aku lima belas tahun, ayah juga meninggal. Ibu baruku tak perduli dan saudari tiriku bahkan tak menangis. Hanya sekumpulan tikus yang menjadi temanku saat aku tidur sendiri dan ketakutan di loteng.
Ketika aku enam belas tahun, ibu memperlakukanku seperti budak. Aku bagai pelayan, setiap hari tidur disamping tungku perapian yang hampir padam seperti padamnya kebaikan dalam diriku. Cacian dan makian mereka lontarkan saat melihat tubuhku yang kotor penuh debu.
Ketika aku delapan belas tahun, ada sebuah pergelaran pesta dansa. Meski aku memohon, ibu tetap tak memperbolehkanku pergi kesana. Sambil menghapus air mata penderitaan, kurasakan amarah serta gejolak kebencian mengalir dalam darahku, itu sangat buruk namun aku menyukainya.
Ketika aku sembilan belas tahun, aku tinggal sendirian. Ibu tiriku tewas, begitu juga kedua saudariku. Darah mereka membasahi tanganku, namun aku tersenyum saat mengingatnya. Yaitu ketika ibu peri mengunjungiku pada suatu malam dan menjajikanku sebuah permintaan. 'Tak semua peri itu baik' kata ibu peri, dan aku pun sadar jika balas dendam lebih menyenangkan daripada hanya berdansa semalaman dengan seorang pangeran, dan bahwa menyayat leher ibu serta saudariku akan lebih mudah jika menggunakan sepasang sepatu kaca yang sudah pecah.
Don't forget to give me a star😘
KAMU SEDANG MEMBACA
CreepyPasta
HorrorAlone. Yes, that's the key word, the most awful word in the English tongue. Murder doesn't hold a candle to it and hell is only a poor synonym. Source creepypasta.com and other translate by myself.