Aku, Kamu dan Senja

78 6 0
                                    

(Non edited!)

.

.

Empat tahun berlalu dan apa yang terjadi saat itu masih terekam jelas di benak Salwa. Bagaimana cara seseorang yang pernah singgah –dan masih menetap—di hatinya menyampaikan sesuatu sedemikian tenang namun sarat akan makna. Sesuatu yang pada akhirnya menyakiti Salwa namun tak sampai membuatnya menangis. Tak ada air mata karena ada sesuatu yang lebih penting dari itu.

Salwa ingin membuktikan, teori yang dia katakan tak berlaku pada perasaannya.

***


Pangkep, Maret 2013.

"Tahu teori keadaan tetap?"

Suara bariton itu menelusup ke indera pendengaran Salwa kala langit berubah jingga. Matahari sudah berada di ujung bumi bagian barat, bersiap meninggalkan peraduannya. Salwa tahu benar jawaban dari pertanyaan Tama, kesukaannya mempelajari ilmu kebumian membuat ia tahu banyak tentang teori pembentukan jagad raya. Salwa sudah terdiam lama setelah tiba di jembatan Kota Pangkep, membuatnya harus menyesuaikan diri lagi dengan suasana di sekitar. Ia terlalu terpesona akan langit senja yang tengah menampakkan warna favoritnya itu hingga Tama dan kendaraan yang berlalu-lalang seketika terabaikan.

"Aku tahu, memangnya kenapa?" Salwa menoleh sekilas, menemukan anak laki-laki itu masih menatap langit dengan sorotan kagum akan ciptaan Tuhan yang mahasempurna.

"Fred Hoyle mengatakan bahwa keadaan jagat raya sama saja dengan jutaan tahun lalu, sebab galaksi baru terbentuk untuk menggantikan galaksi yang hilang," tutur Tama pelan.

Meski tak mengerti ke mana arah pembicaraan laki-laki bertubuh tegap di sampingnya, Salwa tetap menyimak. Mereka memang sering membicarakan apapun jika sedang berada di sini. Hari-hari sekolah yang terasa begitu berat akan tersapu ketika mereka menikmati obrolan ringan di bawah langit senja, yang mungkin untuk sebagian orang biasa saja, namun indah bagi keduanya. Dan meski jembatan yang terhubung langsung dengan pasar itu bukan spot paling bagus untuk menikmati pemandangan tersebut, Tama dan Salwa tetap suka. Lokasinya pun tidak begitu jauh dari sekolah.

Tama kemudian menumpukan kedua tangan pada pembatas dan menoleh pada gadis 17 tahun yang menatapnya balik. Tersenyum simpul kemudian melanjutkan pembicaraan. "Perasaan juga begitu. Jika suatu rasa itu menghilang, ia akan terganti dengan rasa yang lain. Maka hati tidak akan kosong dan keadaannya akan tetap sama."

Mendengar teori yang dikemukakan Tama, Salwa terkekeh pelan. Ia ikut menumpukan kedua tangannya dan menunduk sebentar. Sebenarnya ia tidak setuju dengan apa yang dikatakan pacarnya, namun yang Salwa lakukan akhirnya adalah mengangguk-angguk sambil tertawa lagi.

"Oke..., atas dasar apa kamu memikirkan teori itu? Ada perempuan lain, ya?" goda Salwa.

"Tidak," kata Tama. "Mungkin belum."

Salwa terdiam sejenak. Pikiran tentang Tama yang mungkin akan meninggalkannya menari-nari di kepala Salwa. Buru-buru gadis itu mengenyahkannya, tak ingin ber-negative thingking. Ia sudah mengenal Agung Pratama sejak pertama masuk sekolah menengah atas, dan Tama bukanlah orang yang mudah melepaskan sesuatu yang berharga baginya. Tama sendiri yang pernah berkata dengan mantap, bahwa apa yang ia miliki akan selamanya jadi miliknya. Termasuk Salwa. Terdengar posesif memang, tapi Salwa sadar laki-laki ini punya prinsip yang kukuh.

"Baiklah..., jika ini menyangkut pembentukan jagat raya, aku lebih percaya pada The Big Bang Theory. Tidak sepenuhnya sih, tapi itu lebih meyakinkan daripada steady state-nya Fred Hoyle." Salwa menanggapi.

Thoughts of MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang