Story that I Kept for My Ownself - 1

26 3 1
                                    

I don't know where to begin, but all the things changed since that day...

Or maybe a few months ago.

***

Hari itu sedang ada rapat di aula sekolah ketika panggilan untuk ikut ulangan susulan terdengar dari pembicara di atas panggung. Aku diam sebentar, semoga saja bisa menunggu hingga rapat selesai kemudian baru aku menyusul ke lantai dua. Namun pada panggilan kedua aku tidak bisa lagi menunggu lebih lama. Pada akhirnya aku terpaksa ikut ulangan kimia padahal aku belum belajar sama sekali. Padahal kami, kelas dua belas, baru saja melakukan hal yang begitu emosional dan menumpahkan banyak air mata. Sebentar lagi kami ujian dan kami baru selesai keliling untuk maaf-maafan. Bisa saja beberapa pelajaran di otakku sudah memudar.

Sebenarnya masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah, jika ulangan susulan ini selesai dan teman-temanku sudah pulang, aku takut ke kelas sendirian dan harus bertemu dia. Masih untung jika orang itu bersama teman-temannya yang lain.

Dengan terpaksa aku meninggalkan aula, mataku sempat menyorot panggung di mana dia bersama teman-temannya duduk berdiskusi. Mata kami bertemu sebentar sebelum aku melewati pintu. Sial! Kenapa getaran itu harus ada? Atau mungkin aku hanya berharap hari ini dia meminta maaf padaku seperti ia minta maaf pada teman-teman kami yang lain?

Mungkin. Karena sepanjang hari, sepanjang kami berkeliling untuk meminta maaf pada adik-adik kelas dan guru, ia tidak menghampiriku dan mencoba berbasa-basi. Tapi kalau itu terjadi, semuanya akan terasa sangat aneh. Aku juga tidak mungkin menghampirinya duluan mengingat apa yang aku lalui dua tahun lebih belakangan ini. Sekali lagi, akan sangat aneh.

Davin Widyatama. Teman sekelasku sejak kelas satu dan sekarang kami sudah kelas dua belas. Waktu yang lumayan lama untuk saling mengenal, tapi aku tidak pernah bisa mengenalnya lebih dari seseorang yang menyukai hal-hal yang aku sukai. Itu pun aku hanya mengira-ngira. Aku tidak pernah bisa membaca mimik wajahnya seperti keahlianku membaca ekspresi orang lain. Ia sulit ditebak dan aku mencoba untuk tidak peduli walau nyatanya aku diam-diam ingin tahu. Kami hanya mengobrol jika ada sesuatu yang memang benar-benar penting. Lebih tepatnya, aku menghindari mengobrol dengannya selama ini. Aku memang pendiam, tapi aku tidak bersikap seperti itu pada orang lain.

Entahlah, hanya saja aku merasa perlu menghindarinya sejak pertemuan pertama kami.

Awalnya biasa saja. Aku pikir ia mengerti akan sifatku yang memang seperti ini. Tapi mungkin ia muak. Ketika menginjak kelas sebelas, ia nampak menunjukkan ketidaksukaannya padaku. Aku ingat, hari itu hari kamis dan aku sedang bertugas membersihkan kelas di pagi hari. Sampah-sampah yang kusapu terkumpul di depan pintu, aku berniat menyapunya keluar teras namun tanpa sengaja mengenai kakinya.

"Kalo nyapu tuh, pelan-pelan."

Ia tidak membentak, namun nada marah itu jelas sekali. Sebenarnya, aku juga marah. Entahlah, ada rasa benci yang kusimpan untuknya ketika beberapa bulan lalu terjadi sesuatu yang tidak ingin kuceritakan. Hal itu tidak ada sangkut pautnya denganku tapi sesuatu yang menyangkut temanku berarti masalahku juga.

Aku tidak membalas perkataannya dan lanjut menyapu.

Ketidaksukaannya nampak semakin jelas pada hari di mana kami akan mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba. Ia ditugaskan mencatat peserta dari mata pelajaran yang aku dan dia ikuti. Kala itu aku sedang sibuk mencatat dan berpura-pura tidak peduli. Aku bersikap seperti itu karena aku tidak suka dia. Aku tidak suka gayanya, aku benci apapun yang ia lakukan dan aku tidak tahu kenapa. Lama aku diamkan, akhirnya salah satu temanku menyebutkan namaku untuk dicatat di kertas itu.

Yang membuatku sakit hati adalah ketika ia tahu aku tepat di depan matanya namun ia menanyakan nama lengkapku pada orang lain. Mungkin ia merasa percuma bertanya padaku, tapi apa salahnya menghargai orang lain?

"Udah dua tahun kita sekelas, masa masih nanya juga. Kamu, nih!" Itu kata teman perempuan yang ia tanya.

Lalu, jawabannya membuatku hampir menangis. "Ngapain peduli sama hal yang nggak penting."

Dan yah... aku memang tidak akan menjadi hal yang penting baginya. Sama seperti dia yang hanya angin lalu di kehidupanku. Hanya saja perkataannya itu terlalu menyakitkan karena ia mengatakan itu di depan teman-temanku. Aku malu, tapi aku hanya bisa tersenyum paksa. Dalam hati mengutuk, menyumpah. Semoga suatu saat ia akan termakan omongannya sendiri, suatu saat... mungkin aku akan jadi bagian dari hal yang penting baginya. KARENA KARMA ITU ADA.

Dan saat itu tiba, aku akan menghancurkannya sehancur aku kala ia berkata seperti itu.

Namun kenyataan mengangkatku kembali, bahwa yang sebenarnya adalah... takdirku hanyalah sebagai objek tak kasat mata di dalam hidupnya.

Aku juga sempat bersumpah tidak akan lagi berbicara padanya apapun yang terjadi –aku memang kekanak-kanakan, jika aku melakukannya aku akan kena sial. Tapi, suatu hari teman-temanku tertarik untuk membeli sesuatu dariku, ia juga. Entah kenapa hari itu ia bertanya padaku. Aku masih punya rasa tidak enakan, dan berpikir mungkin tidak ada salahnya jika kujawab, toh dia yang mengajak bicara duluan.

"Serius?" Begitu kataku padanya.

"Iya, serius." Jawabannya sungguh tidak menunjukkan sikapnya kemarin-kemarin.

Dan ternyata, meski aku hanya ngomong satu kata –mungkin sumpahku diijabah Tuhan—sore itu saat aku akan pulang, kakiku terkilir. Sakitnya kubawa sampai berminggu-minggu. Mungkin ini karma, atau mungkin balasan atas janji yang sudah kulanggar.

Cellia, kau harus kapok mengucap sumpah!



Tbc.

Thoughts of MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang