Story That I Kept for My Ownself - 3

33 3 0
                                    

You and I's First Encounter


Aku tidak tahu, menjadi siswa baru di SMA unggulan akan se-melelahkan ini.

Matrikulasi. Bosan. Bulan puasa. Untung hari ini aku sedang halangan.

Terlebih, kami harus duduk lesehan sehari penuh, dari jam 7 sampai jam 4 sore hanya untuk mendengarkan materi di atas panggung aula yang sesekali di selingi games. Aku bosan. Tidak ada yang bisa kuajak mengobrol karena tidak ada satu pun dari teman gugusku yang dulunya satu SMP denganku. Gadis di sampingku juga kalem, jadi tidak ada satu pun dari kami yang membuka percakapan. Hanya menyimak pemateri. Ah, tidak. Sebenarnya fokusku tidak ada di sana. Aku selalu menghibur diri dengan pemikiran imajinatifku jadi meski mataku menatap ke depan, pikiranku tidak ada di sana.

Lama-lama bosan juga, jadi aku membuka handphone dan membuka grup chat di facebook bersama dua temanku di SMP.


Dimas named the group Opale.

Dimas Raditya: Oi, cewek-cewek!

Rania: Iya

Dimas Raditya: Nggak sekolah?

Dimas Raditya: Apa kabar, btw?

Rania: Ini lagi di sekolah. Baik.

Dimas Raditya: Lagi ngapain?

Rania: Duduk, dengerin ceramah.

Dimas Aditya: Di sana ada Julian kagak?

Rania: Kagak.

Bosen.

Itu di atas kapan selesainya, elah!

Dimas Aditya: Untung gue kagak lulus di sana ye? :P

Lah, kagak lulus bangga.

Rania: Gila, gue deg-degan. Hampir aja kakelnya ngeliat gue mainin hape.

Rania: Eh, materinya udah selesai, tapi gue makin deg-degan.

Dimas Aditya: Kenapa?

Gue juga, jir.

Takut ditunjuk ceramah.

Dimas Aditya: Hayoloooooooooohhhh.... mompush lo wkwkwk

Syalan lo, Dim.

Rania: Kampret lo ya, bahagia di atas penderitaan mantan.

Nah, mama dorong lo, mompush. Rania udah bawa-bawa status. :'D


Itu percakapan singkat kami di grup sebelum aku memutuskan menutup handphone dan mendongak. Tidak jelas memang, tapi daripada aku mati bosan lebih baik seperti ini. Meskipun aku dan Rania, sahabatku dari sejak SD, kembali satu sekolah di SMA, kali ini kami tidak lagi dalam satu gugus yang sama. Gugusnya ada di paling kiri aula sementara aku di tengah-tengah. Sementara Dimas yang notabene mantan Rania dan teman kelas kami di SMP sekarang bersekolah di SMK. Sebenarnya laki-laki itu pernah mendaftar di sini, tapi di pendaftaran awal ia tidak lulus. Padahal masih ada jalur lain, tapi ia sudah pesimis duluan.

Kakak-kakak panitia matrikulasi sudah mengumumkan waktu istirahat sholat dhuhur dan menunjuk salah seorang dari kami untuk kultum. Aku kembali deg-degan. Aku belum menyiapkan materi kultum apa pun. Untungnya, ternyata bukan namaku maupun Rania yang di sebut.

Orang-orang berlalu keluar aula dan aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan sekarang. Aku menatap ke kiri di mana Rania sedang menyenderkan punggung di tembok, enak sekali dia.  Aku segera menghampirinya.

"Nggak sholat?" tanyaku. Duduk menyelonjorkan kaki di sampingnya dan menyender pada jendela rendah.

"Halangan."

Kami pun mengobrol dan aku berkenalan dengan teman gugusnya. Aula semakin sepi karena satu persatu orang keluar entah untuk pergi sholat atau pergi mencari makan siang bagi yang halangan atau memang nonmuslim. Sekarang hanya aku dan Rania yang mengobrol karena teman-temannya sudah keluar juga. 

Di tengah percakapan kami, langkah kaki beberapa orang mendekat. Aku yang hanya melihat sepatunya menyadari bahwa mereka anak laki-laki, dan dari suaranya, salah satunya adalah teman SMP ku. Aku tidak mendongak sampai satu suara asing menyapa kami.

"Cewek-cewek nggak pada sholat?"

Ketika kepalaku terangkat, hanya untuk menoleh sekilas. Aku bisa melihat tatapan tajam namun hangat laki-laki yang bersuara tadi. Aku tentu tidak terpaku beberapa saat karena ini bukan sinetron atau drama, atau cerita novel di mana tokoh utamanya put feeling on the first sight. Dia kemudian tersenyum singkat yang tak aku balas, mungkin tidak juga Rania karena dengan cepat laki-laki itu berkata:

"Oh, lagi halangan." Menjawab pertanyaannya sendiri.

Ia kemudian berlalu pergi dengan teman-temannya, meninggalkanku yang sedikit kebingungan. Aku sering melihatnya naik ke atas jika ditunjuk, atau untuk mengajukan pendapat. Tipe siswa pandai dan juga percaya diri. Tapi aku tidak begitu memperhatikan. Aku juga tidak tahu namanya.

"Itu siapa?" Aku berbalik menatap Rania.

"Davin Widyatama."

Aku hanya ber-Oh pendek dan memutuskan fokus pada handphone saja.

And this is my first impression: He's friendly and easy going. 

Lalu, seiring berjalannya waktu... kesan itu menguap begitu saja.




Tbc.

Thoughts of MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang