Story that I Kept for My Ownself - 2

18 2 1
                                    

I always wonder..., why were you looking me like that?

My heartbeat almost killed me.

*** 

Kembali pada masa sekarang.

Aku selesai mengerjakan ulangan kimia itu sekitar satu jam kemudian. Soalnya lumayan mudah, untung saja aku punya ingatan jangka panjang yang bagus meski aku jarang membuka buku. Setelah meneliti pekerjaanku, kukumpulkan lembar kertas itu di meja guru dan keluar kelas. Aku yang pada dasarnya ceroboh tidak bisa tidak mempermalukan diri di hadapan orang-orang. Pinggangku tersandung ujung meja yang ada di dekat pintu. Mereka yang masih ulangan dan notabene bukan teman sekelasku langsung menoleh.

"Ehh... pelan-pelan dong," tegur Pak Tius.

Aku keluar dengan wajah memerah namun mungkin berubah pucat ketika sadar sekolah sudah sepi. Tidak. Aku tidak takut dengan hantu meski rumor beredar jika sekolahku ini rada-rada. Aku takut masuk ke kelas dan menemukan siapa yang ada di dalam sana.

Aku berjalan sepelan mungkin, berharap jika memang Davin ada di sana, dia tidak sendiri atau dia melangkah keluar terlebih dahulu sebelum aku masuk. Yang aku tahu, Davin memang sering tinggal hingga malam di sekolah entah melakukan apa. Paling tidak aku tidak perlu melalui suasana awkward yang terasa ingin membunuh jika berada di radius yang dekat dengannya. Aku bahkan harus selalu menunduk atau buang muka jika papasan dengan laki-laki itu. Omong-omong, beberapa hari ini kami selalu berpapasan setiap pagi ketika aku sampai di sekolah. Yah, itu tidak penting sih. Lupakan saja.

Langkahku semakin pelan ketika pintu kelasku sudah berjarak satu meter di depan. Kakiku berhenti sejenak untuk membuang nafas sebelum kembali melangkah. Mataku menelusuri setiap sudut yang bisa kutangkap dan tidak –belum—menemukan keberadaannya di sana. Kelas itu begitu sepi dan kosong. Sepertinya firasatku kali ini salah. Ia tidak ada di sana.

Kelegaan terasa di dadaku sampai akhirnya tubuhku masuk ke ruangan dan punggung tegapnya menjadi pemandangan yang menyesakkan. Ia berjalan masuk. Sialnya lagi, ketika Davin menyadari keberadaanku, ia berbalik dan matanya tepat menatap mataku. Aku langsung kaku. Seperti kena stroke mendadak tapi kakiku masih bereaksi dan masih bisa membawaku ke tempat dudukku. Aku mencoba biasa saja tapi nyatanya aku meremas tanganku dengan kuat. Kalau tidak salah ingat, tadi ia berjalan seperti baru saja dari pintu. Apa ia melihatku? Apa ia menyaksikan gelagat anehku? Oh tidak! Mukaku semakin memerah memikirkan kemungkinan itu.

Aku mencoba menepis itu semua dan fokus pada barang-barang yang masih berserakan di atas meja. Ah, aku memang jorok. Meja teman-temanku sudah rapi semua sementara mejaku berantakan. Aku memasukkan buku-buku dan alat tulis lainnya dengan buru-buru seolah-olah jemputanku sudah datang, padahal aku yakin ia akan tiba masih setengah jam lagi. Faktanya jantungku sudah berdebar di luar batas normal karena sekarang Davin duduk di depan sana, di sudut kiri di mana dia bisa menangkap gelagatku dengan jelas. Aku penasaran dengan apa yang ia lakukan, apa ia memperhatikanku atau tidak, jadi aku mengangkat kepala dan seketika berjongkok untuk mencari sesuatu di laci ketika mendapati Davin menatapku sambil minum.

Kalau ada tatapan yang bisa membunuh, mungkin aku sudah mati. Ah, tapi kalaupun aku mati di sini, itu bukan karena tatapannya. Mungkin karena jantungku yang tidak bisa berkompromi. Matanya menggambarkan sesuatu yang sulit aku artikan, tapi sepertinya itu tatapan yang menunjukkan bahwa dia sangat tidak suka aku berada di sini. Atau yang lain? Aku tidak tahu. Aku berharap gerakanku tidak begitu cepat sehingga Davin tidak curiga kalau aku sedang... ketakutan?

Lagian, kenapa itu cowok tidak pergi saja sih?!

Aku sengaja berlama-lama jongkok, pura-pura mencari sesuatu di laci padahal hanya ada laptop. Itu pun sudah kukeluarkan dari sana. Aku hanya ingin menghindari dia. Tuhan tolong... gerakkan kakinya untuk pergi.

Dan ya... Tuhan memang menggerakkan kakinya tapi ia tidak keluar. Ia malah berjalan mendekat dan kurasakan dengan jelas ia ada di belakangku. Sekarang aku merasa seperti orang bodoh karena jongkok lama dan sialnya kepergok Davin.

Aku pikir ia menghampiriku, ternyata ia hanya mengambil gitar. Tapi aku rasa ia tidak beranjak dari sana untuk beberapa saat. Aku dengar ia menggumam tapi aku tidak tahu ia bicara apa. Yang jelas dia ngomong sendiri seperti orang gila, atau terpaksa gila karena ia tidak bisa mengajakku bicara. Sumpah, aku lemas. Aku tidak tahu harus berbuat apa dan baru sadar bahwa aku masih dalam posisi jongkok ketika ia berjalan keluar. Punggungku rasanya tertusuk, mungkin ia sedang menatapku dengan aneh.

Aku malu!

Untuk beberapa hal ia memang sering membuatku malu. Tanpa ia sadari.

Davin meneriaki seseorang sebelum kudengar langkahnya menjauh. Akhirnya aku bisa bernapas lega dan kembali memasukkan barang-barangku. Melangkah keluar setelah menarik napas dalam-dalam. Tapi aku merasa lain, aku tidak bisa menjelaskannya. Semacam rasa kecewa. Karena, mungkin, tadi sempat terbesit perkiraan bahwa dia sengaja berada di sini sendiri karena ia tahu aku sedang ada ulangan susulan. Lalu ia berniat minta maaf padaku.

Haha... tidak mungkinlah!

Jadi daripada harus sakit hati karena berharap, lebih baik kuabaikan saja semuanya.

Nyatanya mengabaikannya tidak semudah ketika diucapkan.


tbc.

Thoughts of MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang