Chap 10 : Catatan Andi

179 25 2
                                    

Aku tidak terlalu suka Afa. Dia sombong. Terlalu sombong untuk sekelas siswa SMA. Memangnya dia siapa? Memang sih dia anak yang pandai. Internasional pula kelasnya. Tapi apakah pantas dia sombong? Setiap kali aku melihatnya, aku sangat geram.

Segala sesuatu selalu saja melibatakan Afa. Selalu saja Afa, Afa dan Afa. Untuk apa aku jadi ketua klub misteri?. Apa gunanya klub misteri? Aku kecewa dengan kepala sekolah. Dengan terang-terangan dia merendahkan dan meremehkanku. Didepan semua peserta rapat dan senior-seniorku. Alumni klub misteri yang aku hormati. Aku merasa sangat direndahkan ketika kepala sekolah dengan ringannya membandingkan aku dengan Afa.

Aku merasa sangat tidak berguna. Aku malu. Malu kepada seluruh peserta rapat yang semenjak itu memandang klub misteri sebelah mata. Aku bertekad akan memecahkan kasus bini sendirian tanpa bantuan Afa si sombong itu.

"Kenapa kang? Kok ngelamun gitu?." Tanya Fitri junior klub misteri.

"Ohh!" aku kaget. "Enggak kok, cuman laper aja, cari makan yu?."

"Boleh kang."

Jujur saja, aku lebih senang jika berteman dengan Dimas. Dia berbeda dengan Afa. Berbanding terbalik malah. Ramah tamahnya, murah senyumnya, rendah hatinya. Semuanya aku senangi dan lebih aku hormati ketimbang Afa yang angkuh dengan segala kepintarannya itu. Padahal aku tidak begitu mengenalnya.

Mungkin dengan mengisi perutku yang sebenarnya tidak lapar akan sedikit mengurangi perasaan kesalku ini. Setidaknya ada Fitri, orang yang bisa mendengarkan ceritaku. Dia selalu bijaksana menghadapi setiap permasalahan yang diceritakan kepadanya.

"Mau coba kedai kopi yang baru itu gak kang?."

"Ada gitu?." Tanyaku.

"Ada, sebelah warung seblak depan sekolah, kalo laper bisa sekalian beli seblak."

"Yaudah boleh."

.........

Kamu harus tau, Fitri hanya adik kelasku. Setidaknya itulah yang ada dalam benakku. Tak lebih tak kurang. Dia sangat baik. Sangat baik kepadaku. Entah kenapa dia begitu. Tapi aku sangat bersyukur memiliki adik kelas sebaik dia.

"Kang pesen kopi apa?." Tanya Fitri.

"Kopi item aja." Jawabku dingin.

"Beneran kang? Aku juga sama ah."

"Suka juga kopi item?." Tanyaku heran.

"Iya kang, aku suka, apalagi kalo pait." Jelasnya. "Seblaknya mau?"

"Kopi aja deh."

Sambil menunggu kopi dihidangkan, aku sibuk membuat konsep. Konsep bagaimana menguak siapa yang meneror guru-guru di sekolahku. Saat itu aku sangat serius. Wajahku tak sedikitpun tak memberi sinyal ingin disapa.

Aku sadar sebetulnya. Sedari tadi Fitri mencuri pandang menuju mataku. Sepertinya dia khawatir melihat keadaanku yang tak biasanya seperti ini. Aku merasa sangat bersalah mendiamkannya. Tapi sungguh, waktu itu aku merasa semua beban sedang dalam pikulan pundakku. Aku tak bermaksud mendiamkannya. Semoga dia mengerti.

"Kang ini kopinya." Suaranya lirih seperti yang segan untuk menegurku.

"Oh iya, makasih ya."

"Akang kenapa? Gak biasanya akang kayak gini tau." Tanya Fitri tanpa menatap mataku. Aku menyerah dan menceritakan semuanya. Aku yakin dia bisa paham apa yang kumau. Diaa pasti bijaksana seperti yang kuceritakan.

.........

Mendengar ceritaku, Fitri langsung mengerti. Memang tak sulit baginya memahami orang lain. Aku beruntung bercerita kepada orang yang tepat.

Perpustakaan Aurum [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang