Chap 12 : Pengakuan

154 27 1
                                    

Hari mulai meredup. Meninggalkan beberapa berkas cahaya yang akan berganti menjadi sebuah kegelapan. Diiringi nyanyian burung pipit yang nyaris tak terdengar lagi. Tergantikan oleh suara kelelawar yang mulai berkeliaran mencari penghidupannya.

Jam dinding tak lagi berdenting. Mulai menagih sebuah energi baru. Layaknya kucing manja yang menagih makanan pada majikannya. Dimas pun menggantinya. Dengan sebuah baterai baru yang dia ambil dari kamarnya.

Ia putar jarum jamnya mengikuti waktu yang tertera di hapenya dengan melebihkan waktunya sekitar duapuluh menitan. Berharap lupa dengan waktu yang sengaja ia tambah itu. Agar dia tidak telat ketika hendak bepergian. Dan ini alasan klasik bagi seorang pelajar.

.........

Malam itu, sepulang dari masjid. Dimas ingat, dia memiliki janji dengan kedua temannya. Andi dan Afa. Janjian dirumahnya memang. Diapun bergegas mempercepat langkahnya. Berharap mereka tidak terlalu lama menunggu.

Sedikit berlari, Dimas menyusuri jalanan kampungnya. Dibawah kegelapan malam bada isya, dia menatap langit yang begitu indah. Banyak sekali bintang berserakan disana. Tidak pernah terlihat ditata, tapi sangat sejuk dipandang mata.

Begitu juga dengan bulan purnamanya. Sangat bulat. Sempurna. Ditemani cahaya yang sangat terang, menyinari kegelapan beberapa gang yang tidak diberi lampu oleh pemilik rumah terdekat. Mungkin dana mereka terbatas untuk sekedar memasang lampu.

Langkahnya pun mulai melambat. Terpesona dengan indahnya latar hitam yang dipasang diatas langit. Dengan taburan beberapa cahaya yang disebut bintang dan sebuah bola bercahaya dengan nama bulan purnama.

Sesampainya dirumah, dia mendapati Afa dan Andi sedang menunggu di bangku pekarangan rumahnya. Kebetulan kedua orang tuanya sedang berada di China. Kunjungan keluarga. Dimas ditemani pembantunya dirumah.

"Assalamualaikum!" Sapa Dimas.

"Waalaikumsalam." Jawab Andi dan Afa.

Mereka beralih kedalam rumah sekarang. Merasakan suhu dingin malam ini sudah tak bersahabat lagi.

.........

"Kayaknya kita harus kerumah itu sekarang juga!" Ujar Dimas bersemangat.

"Kita tidak boleh seceroboh itu Dimas, harus ada kejelasan keamanan yang melindungi kita." Timpal Afa.

"Aku setuju. Lagipula sekarang sudah terlalu malam. Hujan lagi diluar." Tambah Andi.

"Ya iyalah diluar. Kalo di dalem bocor namanya." Timpal Dimas kesal. "Kalian nginep kan?" Tambahnya.

"Iya kayaknya. Hujannya gk berhenti-berhenti. Awet banget." Jawab Andi.

"Oh iya, kalian udah nyangka gak di awal Vania itu kaki tangannya Aurum?" Tanya Dimas. Afa hanya mengangguk.

"Dari pertama aku dan Fitri menyelidiki kasus ini. Kami sudah yakin si Vania itu terlibat. Banyak bukti yang menunjang dugaan kami." Jawabnya sambil memperlihatkan catatannya.

"Wah hebat!" Seru Dimas memuji tulisan Andi. "Tapi emang bener sih, dari sorot matanya yang terlalu tenang itu aku sudah bisa memastikan dia pelakunya." Tambah Dimas dengan meletakan catatan Andi.

"Kamu bisa baca kepribadian orang?" Tanya Andi.

"Gak terlalu sih, udah ah besok kita masih harus sekolah kan?" Timpal Dimas.

"Hoaam! Yaudah kita tidur aja sekarang." Andi menjawabnya sambil menguap.

"Kamu harus tau Andi, Dimas itu orang yang tidak pernah berpikir dengan logikanya." Ucap Afa. "Dia bisa menyentuh orang dengan hatinya. Jadi jangan sekali-kali kau berbuat aneh pada Dimas. Dia akan tau." Lanjut Afa.

Perpustakaan Aurum [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang