Chap 18 : Kamis (Catatan Teh Zulfi)

107 21 0
                                    

Huuh... sepertinya aku ingin segera keluar dari sekolah ini. Menjelang kelulusan bukannya banyak kenangan indah, malah banyak kasus pembunuhan. Tapi, mungkin aku akan merindukan klub yang ku dirikan sendirian.

Hari kamis ini aku akan berangkat sekolah. Ditemani novel yang baru saja ku beli, aku menunggu angkot lewat.

Aku memang sangat menikmati keadaan seperti itu. Ya, novel dan buku teks lainnya sudah menjadi teman setia bagiku. Tak pernah ada waktu luang yang kuhabiskan tanpa membaca buku. Dan itu sudah ku mulai dari usia empat tahun. Waktu itu aku diajarkan membaca oleh ibu. Setidaknya sudah tigaratus judul buku sudah ku baca. Dengan jumlah halaman semuanya kurang lebih 95.351 halaman.

Ada dua angkot yang lewat. Tapi aku masih asyik dengan novelku ini. Dan para sopir angkot tau aku, jika aku diganggu ketika membaca, mereka tau apa yang akan terjadi. Ya mereka tau.

Kurasa cukup. Aku tutup novel yang sedang kubaca. Dan tepat ada satu angkot yang hendak lewat. Aku melambaikan tanganku. Menghentikannya.

"Kiri!" Angkot pun berhenti tepat di depanku.

Di dalam angkot ada dua orang siswa berseragam sama denganku. Sepertinya mereka anak kelas sepuluh. Terlihat dari tatapannya yang malu melihatku. Mungkin mereka berdua mengenaliku, tapi aku tidak.

Selain mereka ada seorang ibu yang sepertinya baru pulang dari pasar. Ibu itu sangat sibuk. Didepannya ada beberapa keranjang belanjaan yang sepertinya cukup berat. Ada sayuran yang menyeruak keluar keranjang, makanan ringan, minuman berperisa. Juga bahan-bahan masak atau rempah.

.........

Aku sampai di sekolah. Udara yang sejuk ini akan kurindukan beberapa bulan kedepan. Setelah kelulusanku. Berat rasanya jika memikirkan tentang kelulusan. Karena yang ada dalam benakku hanyalah perpisahan dan kesedihan yang diciptakannya. Mungkin aku bisa main kapan saja ke sekolah. Tapi, jika sendirian pun apa-apaan kan? Yang kurindukan bukan lokasi sekolahnya, namun suasana ketika kami belajar bersama, bermain pada jam kosong, dihukum ketika melanggar aturan, dan hal lainnya yang sungguh membuat hati ini sakit mendengar kata "Kelulusan!"

Masih berdiri memandangi gapura sekolah. Aku teringat dua tahun lalu. Ketika aku memperjuangkan sebuah klub bernama LRC. Aku kelas sepuluh yang sangat tangguh. Tidak takut penolakkan sekolah yang berlebihan ataupun perpeloncoan yang akan kuterima ketika dengan beraninya mengajukan sebuah klub sendirian.

Sudah banyak kawan yang kuajak bergabung. Namun mereka tidak berminat sama sekali dalam bidang membaca. Terpaksa aku merekrut dari siswa baru. Beruntung aku mendapatkan junior yang sangat jenius.

Mereka, hanya dua orang laki-laki. Tapi jangan salah. Merekalah siswa teladan yang mungkin tak akan ada duanya di sekolah ini. Maksudku tak ada tiganya. Mereka memiliki hobi membaca yang sangat berbeda. Dimas, lebih suka membaca kitab-kitab yang bernafaskan islam dan menghafalnya. Sedangkan si mentega, maksudku Afa lebih menyukai buku-buku pelajaran, terutama sains. Sedangkan aku, masih berkutat dengan novel.

Mati-matian aku merawat klub ini. Dengan hanya beranggotakan tiga orang saja, aku yakin klub ini akan menjadi klub yang sangat diminati nantinya.

.........

Di tahun ketiga kami hampir mendapatkan banyak anggota. Sebelum si mentega itu membuat soal logika yang menurutku lebih konyol daripada kepribadiannya. Ya walaupun dia sangat keren.

Kami hampir mendapatkan anggota baru sebanyak duapuluhan lebih. Namun dia membuat sebuah teka-teki yang mungkin kalianpun tak akan mudah untuk mengerti. Tapi sisi baiknya, orang-orang yang bergabung pun bukan orang-orang bodoh, dengan kata lain mereka memiliki kemampuan yang diatas rata-rata siswa sekolah ini. Soal sialan itu sukses membawa siswa cerdas tergabung di klub ini.

Mereka adalah Silvy, Imam, Nilam, dan Vania. Semuanya muslim kecuali Vania. Minat membacanya sangat tinggi. Bahkan Imam yang anak kepala sekolah selalu paling banyak menghabiskan novel di perpustakaan. Dia rajin menyetor resensi kepada seniornya, Afa. Sampai bulan kelima, dia sudah menyetor tiga puluh lima resensi novel dan dua puluh satu resensi buku nonfiksi. Dan ketebalan buku yang dia baca, rata-rata sebanyak empat ratus halaman. Bahkan akupun belum bisa seperti dia.

Imam, tak jauh beda dengan seniornya. Dia memiliki beberapa kesamaan dengan Afa. Tak banyak bicara dan cerdas. Walaupun Afa masih lebih cerdas daripada Imam. Sedangkan Vania, masih junior Afa, tidak terlalu menonjol. Dalam lima bulan ini dia baru menyelesaikan dua puluh novel saja. dan tidak terlalu berminat dengan buku nonfiksi.

Sedangkan tim Dimas, Silvy memiliki minat yang sama dengan seniornya. Membaca kitab-kitab islami. Namun satu kekurangannya. Dalam lima bulan, dia hanya mampu menghafal satu buku saja, dari sepuluh kitab yang ia baca. Sedangkan Nilam, dia tak mampu menghafal banyak, dia hanya membaca dan meresensi novel sepertiku.

.........

Hari-hari kami di klub sangat menyenangkan. Sebelum kejadian-kejadian aneh terjadi dan melibatkan klub ini. Banyak hal yang terjadi setelah ditemukannya teka-teki aneh di perpustakaan. Dan yang paling menyeramkan adalah kematian pak Arif, Nilam, dan Bu Anggi. Semua tuduhan mendarat pada klub kami. Arena awal masalah ada pada Afa yang bersitegang ingin menyelidiki kasus ini.

LRC pun terancam ditutup.

Mendengar teguran itu dari kepala sekolah, aku merasa sangat sedih. Klub yang selama ini aku perjuangkan dengan susah payah, akan ditutup begitu saja. Semoga mereka berdua bisa mengatasinya tanpa aku jika kemudian aku lulus duluan sebelum kasus ini selesai. Sekarang aku percayakan semuanya kepada mereka berdua. Dan mungkin siswa yang belum memiliki kegiatan sepadatku, kelas duabelas.

-Perpustakaan Aurum- 

Perpustakaan Aurum [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang