Chap 21 : Minggu

110 22 1
                                    

Minggu yang suram. Kembali menghempas mereka. Walaupun cuaca hari ini sangat cerah. Bagai pohon besar nan gagah. Tumbang begitu saja hanya karena terhembus angin sepoi. Semua ini tak masuk akal. Disaat kemenangan sudah di depan mata. Andi harus koma, kini tinggal tersisa Afa, Dimas dan Jamil. Sementara waktu, Andi akan menjalani rawat inap. Dia masih koma. Keluarganya histeris.

Dimas, Afa dan Jamil bertemu di taman olahraga. Dekat dengan komplek Pemda Kabupaten Bandung. Dimas sebelumnya menunggu sendirian di kios minuman dingin. Sebelum akhirnya Afa dan Jamil datang menghampirinya.

Taman sangat ramai pagi itu. Banyak orang yang hendak berolahraga datang beramai-ramai kesana. Entah bersama keluarganya, ataupun teman-temannya. Yang pasti, hampir tak ada yang datang sendirian.

Banyak juga para pedagang yang memanfaatkan momen ini untuk mengais rezeki. Mulai dari berjualan permen, hingga perlengkapan rumah tangga yang sangat lengkap. Seketika taman olahraga pun berubah menjadi pasar kaget dengan sejuta keperluan para pembelinya.

Afa bercerita tentang semua yang akan terjadi. Dimas terdiam tak mengerti, sedangkan Jamil, sepertinya dia sudah tahu lebih dulu dibandingkan dengan Dimas. Sesekali untuk menyelingi ceritanya, Afa memakan menteganya. Kali ini dalam kemasan yang cukup praktis. Bungkusnya seperti sedotan yang amat panjang. Dia cukup menekan sedotannya agar menteganya keluar. Lebih higienis.

"Kamu akan mati hari ini Dim." Afa menundukan kepalanya. Dimas malah menyeringai tak percaya.

"Aku gak percaya tahayul Fa, maaf."

"Ini bukan ramalan Dim. Ini..."

Tiba-tiba Jamil memotong pembicaraan mereka. "Gawat Fa! Lari!" Afa menoleh ke arah yang Jamil lihat. Dimas masih terpaku tak mengerti. Terpaksa Jamil menarik kerah bajunya dari belakang. Memaksa Dimas untuk lari. Mencari persembunyian yang aman. Ditengah keramaian.

"Sekarang gini Dim, kami akan melindungimu. Sebisa mungkin kau lari dari sini. Pulang ke rumah atau kantor polisi." Raut muka Afa berubah menjadi sangat tegang tak seperti biasanya. Begitu juga dengan Jamil.

"Tapi ini ada apa?" Dimas terbawa suasana tegang.

"Pokoknya ketika kubilang lari, kamu harus lari! Aku sudah menyiapkan semuanya di laci meja belajarmu. Maaf semalam aku masuk tanpa izin. Kamu harus bisa Dim. Aku yang akan bayar kematianmu. Dan ketika waktu itu datang, aku titip adik-adikku. Aku sudah Islam sejak semalam." Afa menjelaskan semuanya walaupun Dimas tak mengerti. Jamil masih memasang matanya, bersiap jika ada ancaman datang tiba-tiba.

"Maksud kamu apa Fa!? Kematian apa!?" Dimas tak senang mendengar kata yang satu itu.

Jamil beralih menatap Dimas tajam. Lantas menarik kerah bajunya. Mengangkat tubuhnya yang kurus. "Kamu ini bodoh atau pura-pura bodoh? Lakukan apa yang tuan Afa perintahkan!" tatapannya amat sinis. Menakutkan. Tuan Afa!? Dimas mengangguk. Setidaknya itulah hal yang bisa meredam kemarahan Jamil.

"Dengarkan aku! Aku tidak mau ada yang mati lagi. Cukup dengan Nilam! Pak Arif! Bu Anggi! Aku tidak mau kehilangan lagi Fa! Jamil!" Dimas berusaha meyakinkan mereka.

"Tapi itu tidak..."

Dimas memotong kalimat Afa. "Tidak mungkin heh!? Bukankah kau sudah Islam sejak semalam tadi? Belajarlah ilmu tawakal agar kau tahu bahwa kematian seseorang itu hanyalah urusan sang maha pencipta!" Dimas membalas lebih sinis menatap Jamil dan Afa.

"Jikapun harus ada yang mati sebagai korban, aku tidak akan membiarkannya. Karena cukup bagiku merasa kehilangan orang-orang yang kusayangi." Dimas berapi-api.

"Jadi apa rencanamu heh?" Jamil bertanya dengan tatapan yang masih sinis.

"Jika kalian berencana untuk melawannya, kita akan melawannya bersama-sama. Jika kalian berencana lari, aku akan disini, tidak akan lari. Aku tahu apa yang dia mau." Wajahnya lebih bijak dari biasanya. Dimas berubah waktu itu.

Perpustakaan Aurum [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang