Pelajaran pertama

16.3K 640 7
                                    

Bagian paling menyedihkan dalam hidup saya adalah membuat seseorang tidak percaya lagi pada saya. Cerita ini hanya cerita acak mengenai perasaan saya, sebagai seorang perempuan yang menjadi anak tertua dikeluarga yang sangat sederhana. Dimana orang-orang melihat kehidupan saya merupakan suatu kebahagiaan, tanpa tahu apa saja yang saya lewati hanya untuk tersenyum satu hari saja.

Awalnya saya berpikir, cerita ini hanyalah kumpulan kata-kata hiperbola sehingga orang-orang akan mengira bahwa cerita ini hanya dikarang-karang seperti ftv, drama, sinetron atau film.

Tapi, ini adalah apa yang saya alami. Bahkan ketika saya ingin menangis sekalipun sampai berdoa dalam hati apakah memang saya yang terlalu lemah dengan keadaan sehingga mendramatisir suasana, atau memang jalan takdir saya saja yang miris seperti ini.

Kebencian terbesar saya adalah, ketika seseorang mengasihani saya hanya karena saya menceritakan masalah yang sedang saya hadapi. Ketakutan terbesar saya adalah, kehilangan orang tua saya yang menjadi satu-satunya tempat dimana perasaan saya berbalas. Kebahagiaan saya adalah, senyuman keluarga saya.

Kalau kalian bertanya kenapa saya seperti ini dan dengan semua pemikiran saya yang seperti itu, jawabannya sederhana. Waktu mengajarkan saya semuanya.

Sewaktu saya kecil, tidak ada orang yang menyukai saya kecuali kedua orang tua saya sendiri. Mereka bahkan tidak mengetahui bahwa saya kecil sering dihina, ditinggalkan dan disiksa sepupu-sepupu saya yang lain. Pernah suatu waktu saya jenuh untuk mengikuti permintaan kedua orang tua saya bergabung dengan sepupu saya. Saya menolak dan ibu saya memaksa untuk mengatakan alasan logis agar saya tidak ikut acara perkemahan waktu itu

"Mia gak mau, Bu" kata saya sambil terus mengaduk adonan kue beras yang ibu saya buat saat itu, kami sedang mencoba membuat kue beras di dapur rumah berdua karena adik saya bersekolah

"Iya, tapi kan mereka saudara Mia semua. Gak enak kalau gak dateng. Kapan lagi loh kemah sama mbak mas adik-adik?" Ibu saya masih saja terus memaksa saya untuk ikut

Karena rasa kesal yang sudah di ubun-ubun, spatula di tangan saya hampir saja terbanting karena saya tidak bisa menahan amarah. "Kalo Mia gak mau ya gak mau!" beberapa detik kemudian nafas saya sudah menjadi lebih pendek karena melihat keterkejutan dari raut wajah wanita yang paling saya sayangi seumur hidup, saya hanya bisa menunduk dan terus mengaduk

Ibu saya tidak pernah marah, tapi caranya mengungkapkan kemarahannya adalah dengan menangis. Setelah itu, ibu saya membelai rambut saya dan menoleh pelan kepada saya

Saya masih menahan air mata tapi sialnya airnata itu justru jatuh ke pipi saya memberikan efek dingin dan kemudian akhirnya saya menyerah, "Mia gak mau, Bu. Mia selalu ditinggal, Mia sendirian, Mia gak pernah dipeduliin. Mia masak sendiri buat makan sendiri, tapi yang cuci bekas masak sama makan pasti Mia. Mia tidur sendiri dipojokkan. Kalau ada ekspedisi Mia sendirian"

Dan ibu saya mencoba tersenyum kepada saya walaupun saya tahu dia pasti kecewa sekali kenapa saya tidak diperlakukan dengan layak oleh keponakan yang telah dia rawat sedari kecil itu

"Mia gak mau kesana"

Ibu saya mengangguk kemudian mengambil tangan saya pelan, "Mia pergi ya? Sekali ini aja, habis itu gak ada lagi. Ibu nanti bilang Ayah biar gak lagi-lagi"

Saya kemudian mengangguk terpaksa. Tidak bisa menolak permintaan halus Ibu saya karena saya tahu apa yang beliau sampaikan adalah benar. Ayah saya orangnya keras kepala. Apa yang sudah menjadi keyakinannya maka akan dia percaya terus. Tidak bisa dirubah. Dan mana mungkin Ayah saya percaya dengan apa yang sepupu saya lakukan dibelakang para orang tua kalau yang terlihat didepan mereka selama ini adalah mereka yang memperlakukan saya dengan baik.

Sedari kecil saya sudah mengetahui. Manusia pintar berkamuflase.

Inside OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang