Pelajaran kedua

7.6K 496 6
                                    

Saya pikir ibu saya tidak akan pernah mengadukan apa yang saya ceritakan ke ayah saya sampai kemudian saya dipanggil oleh salah satu saudara ayah dan ibu saya. Saya duduk sambil memotong telur goreng mata sapi kesukaan saya yang ditaburi garam, kemudian menyendokan nasi kemulut saya.

Om saya ini, orangnya sangat baik. Tapi tidak dengan ke dua anaknya yang kurang ajar itu. Kedua kakak sepupu saya itu sangat berlawanan jauh dengan sifat kedua orang tuanya. Mereka suka sekali bohong, dan yang paling penting dan menjadi poin penting untuk diingat, mereka tidak pernah menyukai saya. Entah kenapa.

Saya kecil waktu itu berusia 9 tahun, menyendokkan suapan terakhir saya, kemudian menghabiskan segelas air putih di gelas kecil kesukaan saya.

"Mia, katanya Mia gak mau ikut kemah ya?"

Saya mengangguk pelan ragu-ragu karena sudah pasti akan ditanyai mengenai alasan saya

"Kenapa? Kan seru sama semuanya, kemah di pantai, mancing, mandi mandi di pantai"

Saya menggelengkan kepala saya kemudian menunduk.

"Mia gak ditemenin ya sama mas sama mba?"

Om saya selalu pelan ketika menanyai saya, beda ketika dia menegur saudara saya yang lain. Membuat saya akhirnya menjawab pertanyaan beliau dengan jujur, saya mengangguk sebagai jawaban.

Rambut saya dibelai pelan kemudian beliau menambahkan segelas susu coklat untuk saya,

"Mia, mau kan pergi kemah? Kan kemahnya cuma satu tahun sekali. Kalau Mia gak betah nanti bisa minta pulang"

Saya menggeleng sekali lagi, karena saya tahu buat apa pulang-pergi seperti itu kalau bisa menolak lebih awal. Lagi pula saya tidak mau melihat saudara-saudara saya yang pandai bersandiwara itu bersikap sok manis karena telah ditegur orang tuanya.

"Mau ya? Kapan lagi kan kumpul semua kayak gini"

"Mia gak mau"

Om saya kemudian memanggil salah satu anaknya yang sepertinya sedang menunggu di pintu dengan bosan. Salah satu kakak saya yang malas sekali saya temui. "Vino! Janji sama Papa kalo disana nanti Vino temenin Dek Mia"

Kakak saya mendengus dan kemudian menyenggol lutut saya pelan dengan kakinya, sebuah isyarat kalau dia tidak menyukai apa yang sedang terjadi, "Hhh iya, Pa"

"Jagain adik kamu ya? Papa gak mau denger lagi kalian jauhin Dek Mia. Kalian itu saudara, ngerti?"

"Iya, iya, Pa!" Kata kakak saya dengan kesal kemudian menatap saya dengan tatapan tajamnya

Om saya kemudian mengambil satu tangan anaknya dan tangan saya, "Ayo minta maaf sama, Dek Mia"

"Maaf" dan Mas Vino tersenyum pada saya

...

Awalnya saya pikir setelah mereka ditegur dengan orang tua, mereka akan berubah. Nyatanya tidak. Yang ada beberapa Om dan Tante saya malah menyalahkan saya, mereka bilang saya yang terlalu manja dan tidak bisa bergaul.

Saya ingat, Ibu saya menangis setelah mengetahui ternyata bukan hanya saya yang diperlakukan seperti itu tetapi juga adik saya. Sehingga akhirnya kami tidak ikut berkemah dan hanya ikut penutupannya saja.

"Halah! Dek Mia itu manja sekali, Ibunya aja kebanyakan manjain anaknya makanya gak bisa mandiri kemah dipantai"

"Dek Mino juga sama aja. Mereka tuh kebanyakan dimanjain. Pake nyalahin anak kita pula, lawong anak kita akur-akur saja tuh sama yang lain"

"Lah yo mbak, aku sampe tanya Dimas, mereka loh baik-baik saja main sama yang lain. Dek Mia sama Dek Mino saja yang ndak bisa ikut permainan"

Begitulah kira-kira omongan tante-tante saya yang waktu itu menyudutkan saya kecil yang sedang mencuci piring bekas mereka makan. Saya sempat hampir menangis kemudian mengingat kalau misalnya saya menangis waktu itu, kemungkinan besar adik saya juga akan menangis.

Jangan tanya bagaimana perlakuan semua saudara saya setelah itu, mereka semakin menjauhi saya dan adik saya karena mereka pikir saya mengadu.

Waktu itu akhirnya saya tahu kalau, tidak ada gunanya bercerita pada orang dewasa. Mereka sama saja.

Inside OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang