Pelajaran kesebelas

2.9K 326 3
                                    

Saya mengerti bahwa dendam itu hanya akan membawa sakit hati sendiri sehingga akhirnya saya memutuskan untuk pindah tempat kursus menghindari mereka-mereka dan kebetulan ada saudara saya disana

Semenjak intensif untuk snmptn ujian tulis, sepupu saya sudah tidak banyak berulah. Selain karena mereka sibuk sendiri dan saya juga yang jarang berkumpul kesana

Akhirnya saya memilih jurusan yang akan saya masuki untuk jenjang pendidikan selanjutnya. Banyak saran dari saudara waktu itu, akhirnya Ayah saya pula yang memilihkan, saya tidak bisa berkata apa-apa karena waktu itu saya juga tidak memiliki alasan yang cukup untuk menolak pilihan itu

"Sudah, kamu jadi dokter saja mbak. Atau pilihan kedua kamu masuk ke teknik. Itu saja"

"Tapi, Yah. Mia mau coba ikut sekolah desain"

Ayah langsung menatap saya marah, "Kamu sekolah macem itu mau jadi apa?! Sudah! Ikuti saja pilihan Ayah!"

Saya menangis setelah itu. Saya ingat setiap proses pendidikan yang saya jalani, semua pilihan selalu ditentukan oleh orang tua saya. Saya tidak pernah memilih apa yang benar-benar saya inginkan.

Orang tua saya, selalu memilihkan sesuai kehendak mereka. Karena mereka ingin membuktikan apa yang orang katakan itu salah. Tapi kemudian dengan saya diterima menjadi salah satu mahasiswi kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri melalui jalur tulis waktu itu lambat laun semua mulai berubah.

Nenek saya mulai bisa memerima saya dan adik saya sebagai anak dari ibu dan ayah saya. Orang tua saya mulai akur dan jarang bertengkar. Kehidupan kami sudah mendekati normal. Menurut saya.

Memang ya, saya akui waktu itu bibit bebet dan bobot itu benar-benar mengangkat derajat hidup saya. Waktu liburan saya pulang dan bertemu dengan semua sepupu saya, mereka menyambut saya dengan ramah

"Mia? Gimana kuliahnya?" Tanya Mbak Vina waktu itu

Saya hanya tersenyum hambar, Mbak Vina pernah dibandingkan dengan saya waktu itu. Karena dia masuk di salah satu pts dengan uang bangunan mencapai setengah miliyar. Berbeda dengan saya yang waktu itu masuk dengan jalur tulis

"Enak, ya? Liburnya bentar Mi?"

"Iya, cuma seminggu balik lagi"

"Lah kok cepet?" Mas Dimas langsung menyela saya dan dengan raut yang kecewa, "Main dulu sama kita disini"

"Nanti mas, kalau banyak waktu"

Setelah itu, mereka ramah pada saya. Saya tidak mau ambil pusing dengan apa yang keluarga saya lakukan. Yang paling penting untuk saya adalah mereka menerima Ibu saya dan Mino tidak lagi diperlakukan seperti dulu.

...

Bukan. Sebenarnya saya tidak terlalu memikirkan masalah keluarga karena saya mempunyai masalah yang lebih penting yaitu masalah teman-teman saya.

Saya tidak pernah menjalin komunikasi dengan teman sekolah saya, sampai pada waktu itu saya akhirnya tidak sengaja menemukan Bagas yang ternyata berteman dengan salah satu anak populer itu

Aldiansyah Risjad meminta hubungan pertemanan dengan Anda
Teman bersama Bagaskara Rudiansyah

Inside OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang