Pelajaran ketiga

4.6K 457 8
                                    

Akhirnya saya terbiasa menjalani kehidupan yang seperti itu. Memendam sendiri masalah saya dan diam saja ketika semua saudara saya bersikap seperti itu. Masa bodoh dengan apa yang mereka lakukan.

Pernah saya dipukuli rotan karena nenek saya mengira adik saya yang memecahkan vas kesayangannya. Padahal waktu itu sepupu saya yang memecahkannya dan menyalahkan adik saya. Adik saya bersikeras tidak melakukannya dan menjelaskan sampai tidak sengaja membentak balik nenek saya. Sehingga akhirnya adik saya akan dipukuli rotan, karena tidak tega, maka saya memilih untuk menggantikannya.

Nenek saya itu keras. Jaman kami kecil dulu, semua pengalaman kami ibarat pendidikan militer. Bangun pagi, sarapan diatur menunya, dan kalau tidak menurut maka akan dipukuli.

Setelah membereskan pecahan vas itu akhirnya nenek saya memanggil saya di depan semua sepupu saya. Di tangannya sudah ada rotan yang sangat saya takuti. Saya pernah dipukul rotan itu sekali, karena membuat salah satu kakak saya menangis. Walaupun itu bukan saya yang membuatnya menangis.

"Karena Dek Mino masih kecil, jadi Dek Mia yang ngegantiin adiknya" ucap Nenek saya kemudian melirik kearah saya

Saya bisa lihat saudara saya menatap saya dengan pandangan lurus. Saya tidak tahu mereka kenapa, tapi saya hanya fokus pada satu hal.

Menutup mata ketika pukulan pertama jatuh pada telapak tangan saya

Dua

Tiga

Empat

Kemudian menggigit bibir saya ketika pukulan kelima mengenai buku jari saya.

Sakit memang. Tapi tidak sesakit ketika saya menangis sendirian setelah itu, sampai adik saya datang dan membawakan es batu untuk mengompres tangan saya. Dia menangis juga waktu itu.

"Mbak, Mino mau pulang" kemudian adik saya sesenggukkan mengucekki matanya dengan tangan kecilnya

Saya yang waktu itu masih sangat kecil hanya bisa tersenyum samar dan menggenggam kuat es batu yang diberikan Mino. "Sabar ya, sebentar lagi"

Akhirnya kami tertidur di ruang tv tempat saya dihukum waktu itu. Tidak ada selimut, hanya karpet dan dua buah bantal kecil yang menjadi tempat tidur kami. Sisanya hanya ruangan besar gelap dan tv besar.

Kami tumbuh seperti itu. Setiap liburan harus ikut berkumpul dengan sepupu yang lain. Katanya sih mengakrabkan. Buat saya, itu hanya pengalaman pahit yang selalu menjadikan saya tumbal.

Berikutnya yang saya ingat hanyalah, tidak ada gunanya menjadi sok pahlawan kalau akhirnya hanya saya yang tersakiti

Inside OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang