"Apakah... apakah hubungan ini adalah bagian dari balas dendam itu?"
Stevan tetap diam, tidak berani melihat Vanya yang sedang menunggu jawabannya.
"Stevan" Vanya menggoyang pelan lengan Stevan, berusaha memanggil kembali lelaki itu dari lamunannya. Dengan pelan Stevan melihat Vanya yang masih tetap melihatnya.
"Tolong kau jelaskan padaku maksud dari 'dendam' itu. Jangan membuatku menduga duga"
"Tidak Vanya. Jangan memikirkan hal yang akan menghancurkan hubungan kita. Kau terlalu berarti bagiku" Stevan menggenggam kedua tangan Vanya dan menatap lurus kearah mata cokelat yang ia rindukan itu.
"Kalau begitu jelaskan padaku maksud paman itu"
"Vanya, kau tahu aku dan Laura pernah punya hubungan dan itu tidak berakhir baik bukan?" Stevan berusaha melihat ekspresi Vanya saat ia membawa Laura dalam pembicaraan mereka saat itu.
Dengan mata yang sedikit menyipit, Vanya mengangguk.
"Saat hubungan itu hancur, kau juga sudah tahu kalau aku berubah menjadi orang yang dingin"
Vanya mengangguk lagi.
Stevan mendesah dan diam sejenak. "Saat itu, pamanmu itu sempat merasa bersalah karena Laura mengkhianatiku di saat aku telah menemui Lucas dan isterinya untuk melamar anak mereka. Laura. Namun ternyata Laura berselingkuh dengan Tobias, sekretarisnya sendiri. Dan itu terjadi bukan baru sebentar, tapi sudah lama"
Suara Stevan terdengar bergetar di ujung penjelasannya. Tangannya yang menggenggam tangan Vanya ikut bergetar karena emosinya yang tidak tertahan itu.
"Lucas malu padaku karena semua itu terjadi di depan matanya namun ia tidak menyadari hal itu"
Sampai saat ini, Stevan memang masih sering marah jika mengingat pengkhiantan yang di lakukan padanya itu. Apa lagi jika melihat Tobias dan Laura. Rasa sakit itu kembali muncul ke permukaan, meski tidak sesakit dulu, tapi amarah Stevan tidak dapat di sembunyikan. Dan mengingat Tobias sempat mendekati Vanya, membuat amarah Stevan semakin meluap-luap ketika melihat lelaki itu.
"Seburuk itukah sikap Laura?"
Stevan mendongak dan menatap bola mata wanitanya itu, kemudian mengangguk pelan dan menunduk kembali.
"Apakah luka itu masih menyakitimu? Maksudku... di saat aku telah menjadi bagian dari hidupmu?"
Mata Vanya berkaca saat mengetahui kehadirannya ternyata masih belum mampu melepas semua rasa sakit yang Stevan pendam.
"Vanya tidak. Maafkan aku, please, jangan menangis"
Jari ibu Stevan menelusuri pipi Vanya, menghapus jejak air mata di sana.
"Kau telah di sini, menemaniku dan menjadi cahaya baru bagiku. Kaulah harapan yang tidak pernah aku sangka sebelumnya Vanya. Tolong, jangan pernah berfikir kehadiranmu tidak berarti bagiku, karena nyatanya kaulah hidupku kini"
Vanya menangis. Entah itu air mata haru atau justru rasa sakit. Yang jelas wanita itu hanya menangis.
"You are everything to me. My future, my breath, my world, and my life"
Tangan hangat Stevan menangkup wajah Vanya dan menatapnya. "Please, trust me"
Vanya menatap Stevan. Berusaha mencaei kebohongan di sana, namun dia tidak menemukan apa yang ia cari. Hanya ada ketulusan di dalam mata abu-abu itu.
"I Love You"
Stevan berbisik sangat pelan tapi terdengar sangat jelas bagi Vanya. Dan suara Stevan saat mengatakannya terdengar sangat sexy bagi wanita itu. Membuatnya tertawa pelan lalu memeluk lelaki yang sangat ia cintai itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Want You, Just You ✔
RomanceSebelum baca, akan lebih baik jika di follow dulu untuk memudahkan kalian. Karena akan ada part - part yang aku private secara acak. - Stevan Zaerd Charlie seorang CEO muda yang tampan dan sangat dingin terhadap wanita. Menanggung sendiri beban di h...