02. Pradipta

46.2K 3.3K 93
                                    

Ada malaikat mana yang membuat gue bersikap baik dengan Naida? Dengan tanpa sadar, jari tangan sialan gue ini malah membalas chat dari Naida yang bertanya mengenai jadwal pulang kantor gue.

Pradipta Hamzan : Saya pulang malam.

Naida Anhar : Hati-hati, Pradipta.

Pradipta Hamzan : Iya.

Dan entah kenapa juga, gue ngebales untuk yang kedua kalinya. Shit! Mabuk gue yang semalem, ternyata masih ngefek. Pokoknya, gue harus minta tanggung jawab sama Ega buat semalem.

Ratusan bahkan ribuan lembaran, lama-lama bisa bikin gue jenuh. Setiap hari, gue harus baca semua isi dari buku itu. Mata gue harus jumpalitan kanan kiri untuk tetep fokus dan benar-benar paham dan menyangkut pautkan kasus yang gue dan tim tanganin.

Enggak lucu kan, kalau gue asal jeplak aja tanpa ada bukti dari apa yang gue keluarin?

"Serius amat lo!" Ega menepuk punggung gue.

"Sialan lo, ya. Semalem lo kasih apa ke minuman gue?" to-the-point. Gue bukan tipe orang yang suka basa-basi. Apalagi sama temen sendiri. Enggak tercantum di kamus seorang Dipta.

Ega tergelak lantas terbahak. "Itu alkohol biasa kali, Dip. Lo nya aja yang kebanyakan minum. Mentang-mentang ada Sarah, lo mau unjuk kebolehan, gitu? Cih,"

Gue diem. Bener juga sih yang Ega bilang. "Kenapa lo enggak nyetopin gue?"

"Tanya aja sama Sarah."

Gue bingung. Ada hubungan sangkut paut apa gue yang semalem, sama Sarah? Enggak mungkin, kan Sarah yang bikin gue terus-terusan menenggak alkohol? Selain Ega, Sarah juga tahu kalau gue anti sama pulang dalam keadaan mabuk.

Buku yang gue tutup berbunyi bedebum karena saking tebalnya. Kaki gue buru-buru jalan ke mobil yang gue parkir di basement. Kerjaan gue jadi nomor dua. Nanti aja kalau urusan nomor satu gue udah selesai.

Nafas gue terus kejar-kejaran sama kaki gue yang masih menginjak gas mobil. Rasanya, gue mau cepet-cepet sampai di kantor Sarah. Cukup jauh, emang. Enggak peduli. Yang peting, gue bisa ketemu sama Sarah. Enggak, gue enggak marah sama dia karena perkiraan gue tadi. Enggak tau aja, gue mau cepet-cepet ketemu sama dia terus sekalian ajak makan siang. Itung-itung balas budi karena semalem dia udah mau anter gue ke rumah dan bikin Naida nangis. Lagi.

Call me the handsome devil. Air mata Naida membawa efek kesenangan dari diri gue. Sadis? Bejat? Enggak punya hati? Cowok bajingan? Percaya sama gue. Semua cacian itu udah sering gue dengar dan sudah jadi makanan pokok dari Ega dan temen-temen gue yang tahu masalah drama pernikahan gue.

Mobil gue berhenti tepat di lobby kantor Sarah. Baru aja gue mau nelpon Sarah, sosok yang gue tunggu udah kelihatan dari tempat gue duduk sekarang ini. Dia anggun banget dengan blus krem nya. Gue benar-benar beruntung punya pacar secantik dia.

But ... tunggu! Kenapa tangan Sarah menggelayut manja di lengan cowok-yang-gak-gue-kenal-siapa-namanya. Yang gue tahu dan gue peduli, tangan itu cuma bisa dan berhak ada di lengan gue. Not anyone, just me! Brengsek sama cowok itu.

Buru-buru gue buka pintu mobil. Sedetik. Dua detik. Kaki gue terasa kebas. Enggak ada rasa, jadi susah buat digerakkin. Gue enggak bisa keluar mobil buat ngelabrak Sarah dan nanya apa yang terjadi. Maksud gue, siapa cowok itu?

Sialan! Kenapa gue jadi kayak anak SMA yang cemburuan? Dramatis banget. Mergokin cewek sendiri yang jalan bareng cowok lain. Ini bukan gue.

Lagi-lagi omongan Almarhum Bokap melintas di otak gue. "Enggak ada cinta yang enggak cemburu." You must be get the point. Gue cinta sama Sarah. Dan wajar kalau gue cemburu. Karena dia milik gue. Properti milik Pradipta Hamzan.

Nadipta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang