05. Naida

44.2K 3K 11
                                    

Malam itu, aku benar-benar sudah tidak bisa untuk membendung rasa benciku terhadap Pradipta. Malam itu pula, Pradipta mengeluarkan sifat aslinya. Pradipta yang sebenarnya keluar tanpa perlu menahan emosi setiap kali ia kesal denganku.

Hanya dengan bentakan, semua penilaianku terhadap Pradipta langsung aku coret merah dan buang jauh-jauh dari hidupku. Mulai sekarang, aku berusaha untuk tidak peduli dengan Pradipta. Sesuai dengan ucapannya yang sering ia lontarkan. Tidak perlu peduli dengannya, karena dia sendiri tidak peduli denganku. Kemana saja aku selama ini, ya? Karena baru sadar dan betul-betul membodohi diriku sendiri. Itu adalah perkataan yang sudah secara terang menolakku untuk berlaku baik dengannya. Dan sekarang? Aku akan buang mentah-mentah segala sikap peduliku itu untuk Pradipta.

Pagi ini, aku sudah siap untuk pergi ke rumahku yang ada di Jakarta Barat. Selama bekerja dengan Mamah Karina, aku sudah berhasil membeli sebuah rumah minimalis. Tidak terlalu besar. Kamarnya pun hanya ada satu. Mamah Karina tidak tahu menahu mengenai rumahku. Dan aku harap, Paradipta juga tidak tahu. Hanya keluargaku yang memgetahui hal ini.

Koper cokelat sudah aku genggam dengan erat. Jarum jam masih menunjukkan pukul empat pagi. Pelan-pelan aku memutar kenop pintu, mengintip sekilas keadaan keluar. Masih sepi. Aku harap, Pradipta masih terlelap. Mataku terpaku di ruang tamu. Di sana ada Pradipta yang tidur meringkuk di karpetnya. Tanpa bantal, guling, maupun seimut. Aku yakin, ia pasti kedinginan. Hatiku meringis, darahku mendesir. Tidak tega dengan keadaannya seperti itu. Kalau saja perilakunya yang semalam lebih manis, Pradipta yang sekarang ini tidak akan terjadi.

Aku berhenti seketika, melepas genggaman koperku dan beralih mengelus pelipisnya yang tertutupi rambutnya. Lagi-lagi air mataku menggenang saat melihat mata Pradipta yang terlihat sembab. Begitu pula dengan pipinya yang kilap seperti bekas air mata. Apa dia nangis semalaman? Ah, mana mungkin juga Pradipta menangis hanya karena kejadian semalam? Pradipta terlalu jahat untuk bisa menangis.

Alam bawah sadarku mengingatkan untuk segera pergi sebelum Pradipta membuka mata dan melihatku sedang menatapnya iba. Namun, sebelumnya aku pergi ke kamarku dan mengambil selimut baru dari lemari pakaianku dan menyelimuti tubuh Pradipta dengan selimut itu. Ada sedikit harapan yang tersimpan wangi melalui aroma selimutku.

"Setelah apa yang aku berikan ke kamu, perlakuanku benar-benar tidak bisa membuatmu menganggap aku ada. Semua yang kulakukan sia-sia. Lantas mengapa aku harus bertahan?" aku menggumam sambil menahan tangisanku.

Tanganku kembali meraih koper yang masih setia ada di sana. Menariknya ke pintu ke luar rumah. Sebelum kakiku melangkah untuk benar-benar meninggalkan rumah Pradipta, aku menyempatkan untuk melihat wajah tenang Pradipta. Selanjutnya pergi dan benar-benar meninggalkan Pradipta tanpa menoleh kembali ke arah yang nantinya akan membuatku bertambah sakit.

Aku mengeratkan jaket yang aku kenakan untuk menghalang angin pagi yang cukup membuat kulitku merinding. Suasana masih gelap, lampu jalanan juga masih menyala. Jalanan komplek rumah Pradipta juga masih sangat sepi tanpa terdengar aktivitas yang biasanya ramai karena lalu lalang para penghuninya yang sibuk.

Di suasana seperti ini, ada rasa takut yang sedikit menyelimutiku. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku harus berjalan setidaknya lima blok lagi untuk mencapai jalan raya yang di sana terdapat kendaraan umum. Walaupun aku tidak yakin kalau jam segini, kendaraan umum sudah mulai keluar dan mencari penumpang. Entahlah, biarkan nasib yang membawaku sampai ke rumahku. Rumah yang sesungguhnya. Dengan kenahagiaan yang aku bangun di sana.

Sentuhan di pundakku, membuatku terlonjak dan bergerak menyamping seketika. Di depanku kini, berdiri sosok laki-laki dengan celana training dan kaosnya yang sudah basah dengan keringat.

"Kamu ngapain ke luar rumah pagi-pagi sambil bawa koper?"

Aku ragu-ragu antara akan menjawab atau tidak menjawab perihal pertanyaannya.

Nadipta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang