09. Pradipta

35.9K 1.9K 2
                                    

Semalam adalah hal yang paling emosional yang pernah gue rasain di hidup gue. Terimakasih, Naida untuk kepercayaan kamu untuk suami yang bodoh ini. Hati Naida benar-benar suci, cerminan sikapnya seperti bidadari di surga. Dialah yang nanti jadi bidadari gue. Pradipta dan Naida. Sepasang suami istri yang akan membuat orang-orang iri. Bukan begitu, sayang?

Ah... gue jadi mau cepat-cepat sampai rumah. Naida pasti sudah pulang kerja karena tadi gue sempat telepon Mamah dan menanyakan keberadaan menantu kesayangannya itu.

Saat air mata kami berbaur bersama, gue berpikir 'sebegini miriskah kehidupan gue?' Sumpah demi apapun, gue enggak kuat untuk liat air mata itu. Dan sekarang, gue enggak perlu lagi menjawab pertanyaan gue sendiri. Gue adalah laki-laki paling beruntung yang bisa dapetin Naida sebagai istri sah gue.

Dua hari setelah adegan malam saat Naida untuk menerima gue lagi, gue jadi lebih sering mencoba mendekati Naida. Malam ini, gue sampai rumah jam dua belas malam lewat. Udah jadi kebiasaan gue kalau kasus klien gue udah mau masuk persidangan. Saat gue buka pintu rumah, ruang kerja Naida masih terbuka. Lampunya pun masih menyala. Setelah gue tengok ke dalam, Naida ternyata sedang duduk di meja kerjanya. Matanya terlihat lelah, tapi dia masih saja berkeras untuk mengetik sesuatu. Gue memilih diam memperhatikan. Terkadang, kepalanya terantuk ke depan saking ngantuknya.

Gue berjalan mendekati Naida dan memijit pelan pundaknya yang gue rasa pasti udah kelelahan. Naida kembali tersadar dan mengangkat kepala untuk menatap gue.

"Kamu udah pulang, Pradipta?"

Gue mengangguk, "Ini udah tengah malam, kenapa kamu belum tidur?"

Naida menggeleng dan menyentuh tangan gue yang ada di pundaknya. Gue kira dia bakal mengelus lembut tangan gue, ternyata justru dia melepasnya. Apa Naida lagi nyiptain jarak ke gue? Bodoh, bodoh! Lo cowok paling bodoh sedunia, Dip. Lo pantas mendapatkan itu sebagai ganjarannya. Gue pikir, Naida perlu waktu untuk benar-benar melupakan hal buruk yang udah gue lakuin ke dia. Dengan perubahan status kita yang baru ini, gue yakin Naida masih butuh waktu.

"Banyak kerjaan di kantor." Naida kembali bersuara. Matanya tertuju lurus ke layar.

"Mamah juga pasti ngerti kok, Naida."

"Aku udah banyak absen kerjaan."

"Tidur ya, Naida. Nanti kamu sakit." Jujur, gue rasa kalimat itu keluar tanpa gue saring dulu. Itu kalimat khawatir spontan yang pertama kali gue lontarin ke Naida.

Naida juga sama bingungnya kayak gue. Lagi-lagi dia mendongak ke arah gue dan membalasnya dengan senyuman. Ah, senyuman itu. Gue kangen, Naida.

"Apa perlu saya temani tidur?" gue kembali bertanya. Harap-harap cemas dengan jawaban Naida—diterima atau ditolak.

Naida berdiri, membalikkan tubuhnya agar benar-benar bisa natap gue sejajar. Dia menyentuh kening gue, menyampirkan sehelai dua helai rambut gue yang jatuh di sana. Astaga. Gue yakin, ini sentuhan pertama tanpa paksaan dari Naida. Dan ini sentuhan pertama Naida yang bikin darah gue mendesir. Apa begini rasanya sentuhan seorang istri? Gue terus bertanya-tanya dalam hati. Seharusnya, gue sudah menerima ini sejak satu tahun lalu kalau saja gue menerima pernikahan ini dari dulu.

"Ada apa dengan kamu, Pradipta?" gumam Naida.

Akhirnya gue sentuh tangan Naida. Dia berhenti melakukan aktivitasnya menyampirkan rambut gue. Gue benar-benar natap mata dia dalem. Berharap agar Naida merasakan apa yang gue rasa dari tatapan yang gue kasih ke dia. Naida juga mandang gue penuh kebimbangan. Percaya sama gue, Naida. Untuk kali ini aja. Gue mohon.

"Saya minta maaf, Naida. Cowok brengsek di depan kamu ini ingin berubah."

Satu tetes air matanya kembali keluar. Buru-buru gue mengusap pipinya yang basah. Naida masih diam. Gue paham kalau Naida masih beradaptasi dengan perubahan gue. Mungkin aja, Naida enggak bakal mau nerima gue. Enggak! Pikiran negatif itu buru-buru gue lenyapkan.

"Kenapa, Pradipta?" isakannya masih terdengar.

Dengan cepat, gue merengkuh tubuhnya yang gemetar. Aku lemah dengan Naida. Aku lemah melihatnya lemah. Separuh jiwaku hancur.

"Bantu saya, Naida," gue memeluk Naida makin erat. Menghirup aroma rambutnya di dagu gue. "bantu saya untuk membina hubungan ini."

"Aku... aku bingung, Pradipta. Sikapmu buat aku bingung."

Gue mengelus punggungnya. Menghantarkan rasa tidak perlu khawatir untuk Naida. Gue berharap Naida kasih gue pukulan supaya gue bisa nebus kesalahan gue. Supaya gue bisa ngerasain sakit yang Naida alami karena gue. Gue yang brengsek!
Aku benar-benar menyesal, Naida. Jangan buat aku sakit seperti aku menyakiti kamu. Aku cowok egois. Aku cowok egois yang menginginkan kamu menjadi rumahku. Tempatku pulang setelah bekerja. Tempatku mencari sandaran dari penatnya dunia. Tempatku menggoreskan masa depan. Just give me the second chance. And I promise, never let you down on the second time.

"Seperti saya bilang, ayo kita mulai lagi dari awal" Gue menggumam dan memberi sebuah kecupan ringan di kening Naida, mengakhiri ucapan gue bersamaan dengan tangannya yang membalas pelukan gue dengan sama eratnya. "Belive in me, Naida."

Kecupan yang menjadi saksi akan ketulusan gue buat memulai kehidupan yang baru bersama Naida. Menyambung kembali tali pernikahan yang tadi sempat gue renggangkan.

Nadipta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang