10. Naida

36.1K 1.9K 5
                                    

Semalam itu, aku benar-benar tidak bisa terlelap dalam tidur. Setelah semua perlakuan yang Pradipta tunjukkin ke aku, bikin aku semakin bingung dan semakin membuatku percaya terhadap Pradipta. 

Setiap orang bisa berubah, bukan? Termasuk Pradipta. Setiap orang juga bisa mempunyai kesempatan kedua untuk memperbaiki situasi, termasuk Pradipta. Tapi, masalah yang aku hadapin sekarang adalah apakah aku cukup punya nyali dan yakin untuk kasih Pradipta kesempatan kedua itu? Memulainya lagi dari awal? Apa aku sanggup? Apa aku sanggup setelah apa yang Pradipta lakuin ke aku selama setahun ini dan sekarang dengan seenaknya, dia ingin memulai dari awal tanpa perlu payah-payah memahami perasaan aku yang setiap hari menahan sakit?

Siapa Pradipta sebenarnya? Aku terus bertanya-tanya dalam hati.

Semalam juga, Pradipta meminta untuk menemaniku tidur dalam ranjang yang sama. Dua kali. Namun, aku tetap menolaknya. Aku belum siap, Pradipta.

"Saya mau kamu menjadi orang pertama yang saya lihat saat terbangun, Naida." Sorot matanya kala itu sangat meyakinkan. Tapi hatiku tetap gentar. Aku hanya bisa diam mendengarnya. Tidak bisa membalas apa-apa setelah kecupan kening yang membuatku merasakan keromantisan dari Pradipta.

"Ijinkan saya untuk menjadi sandaranmu, Naida." Aku pun masih terdiam.

Dan pada akhirnya, Pradipta menyerah dan menghembuskan nafas pelan. "Baiklah, kalau kamu belum siap untuk menerima saya," Pradipta mengelus rambutku, "kesabaran adalah kunci bagi saya untuk bisa mendapatkan kepercayaan kamu lagi. Good night, Naida. Semoga mimpi indah."

Detik itu juga, air mataku kembali menetes dan menghasilkan rasa susah tidur sampai jam empat pagi.  Saat subuh tiba, aku pun mengadu kepada-Nya. Di setiap sujudku, aku berdoa meminta pilihan yang terbaik. Karena yang aku yakini, berdo'a saat sujud niscaya akan dikabulkan. Setiap lantunan ayat surah Al-Waqi'ah yang selalu aku baca setiap selesai shalat subuh, membuatku semakin tenang. Membuatku yakin akan kuasa-Nya. Kalaupun Pradipta adalah yang terbaik bagi-Nya untukku, maka dialah jawaban atas segala do'a yang selalu aku panjatkan.

Di beranda rumah, aku menghirup aroma kopi yang aku buat setelah memasak sarapan untuk Pradipta. Akhir pekan ini, aku berencana menghabiskan waktu bersama segala pekerjaan yang menunggu.

Di penghujung jum'at lalu, Intan, teman kantorku mengajak untuk keluar di akhir pekan. Sekedar minum kopi, atau malakukan perawatan ala wanita sebenarnya.

"Aku enggak bisa, Intan. Kamu tahu sendiri, tugasku menumpuk gara-gara sering absen." Intan mendesah kecewa ketika aku menolak ajakannya.

"Enggak bisa entar-entar aja ngerjainnya?" aku menggeleng sebagai jawaban. Namun, seakan mengerti keadaanku, Intan mengangguk dan tersenyum.

"Yaudah, lain waktu aja," Katanya. "aku pulang dulu deh. Kamu hati-hati ya, Naynay." Ucapan kesayangan Intan untukku selalu bisa membuatku tersenyum dan menyayanginya sebagai keluarga beda darah.

"Aroma kopi di cangkirmu, mengundang saya untuk ke sini." Suara bariton Pradipta terdengar serak di belakangku. Lantas, aku membalikkan badan dan melihatnya berjalan menujuku dengan tampilan khas orang baru bangun tidur.  Aku hanya tersenyum membalas ucapannya.

Aku mengelak saat dia berusaha menjangkau kepalaku dan mencoba mencium keningku. Kernyitan di dahinya nampak jelas sebab tak menyangka dengan reaksiku. Seakan tidak terjadi apa-apa, Pradipta balas tersenyum dan duduk di sampingku.

Kecanggungan dan kesunyian sangat terasa di sini. Atmosfernya sangat membuatku tidak betah walau ada sedikit perasaan lega ketika Pradipta memilih untuk tidak menanyakan sikap menghindarku tadi.

Maaf. Hanya satu kata itu yang bisa aku lontarkan.

"Pradipta, kamu sudah sarapan?" aku berusaha mengalihkan pembicaraan selepas pemikiran destruktifku yang tadi.

Pradipta menggeleng lantas menarik tanganku yang masih menyentuh bibir cangkirnya saat bertanya kepadanya. "Meja makan ramai makanan, tidak etis jika saya makan sendiri." Ujarnya.

Berakhirlah aku di meja makan bersama Pradipta dalam keheningan sarapan. Hanya suara dentingan alat makan yang menjadi alunan suara pengiring di pagi hari. Tegukan air minum yang mengalir di tenggorokan Pradipta membuatku sedikit senang. Aku merutuki perasaan cepat memaafkan seorang wanita yang tiba-tiba berdesir di benakku. Kenapa aku tidak bisa melakukannya?

"Makanan kamu enak banget, Naida. Rajin-rajin masakin buat aku ya."

Aku tertawa kecil menanggapinya. "Sudah jadi kewajiban aku untuk membuatkanmu makanan, Pradipta."

Ia menggapai kepalaku lantas mengecup puncaknya. Aku terkejut bukan main. "Oh ya... makanan penutupnya mana?"

Aku kembali menapak tanah. "Ada pudding pandan di kulkas. Tapi bukannya ini masih pagi untuk makan pudding?"

Pradipta tidak menjawabnya dan langsung membuka kulkas. Tangannya menggapai mangkuk yang berisikan pudding kesukaannya berbentuk bintang dan bulan. Ia tersenyum senang memandangi makanan kesukaannya itu. Pradipta kembali duduk, namun kini ia bergeser untuk duduk di sampingku.

Tangannya menyendok pudding itu lalu memakannya. "Enak banget, Naida. Sudah lama saya tidak makan pudding pandan seperti ini.

Iya, memang. Karena setiap aku membuatkannya untukmu, kamu selalu menolaknya, Pradipta. Bukankah kamu masih ingat itu? Lupakan, Naida. Itu adalah Pradipta yang dulu. Sekarang, Pradipta yang baru sudah ada di hadapan kamu. Pradipta yang baru sudah menjadi seorang yang pantas untuk mendapatkan kembali rasa cintamu itu.

Aku tertawa ketika pudding yang ia makan, tiba-tiba terjatuh ke meja makan. Tapi, Pradipta mengambilnya kembali dengan tangan dan langsung memasukannya ke mulut. Mengunyahnya tanpa rasa jijik terhadap pudding itu.

"Kamu jorok, Pradipta. Itu kan udah kotor, tapi kamu tetep makan."

"Belum lima menit, Naida. Lagian kan sayang-sayang puddingnya." Ia tertawa dan kembali menular kepadaku.

"Aku bisa masak lagi buat kamu." Aku memandang wajahnya yang masih tersenyum.

"Nanti aja. Aku mau abisin yang ini dulu." Ia kembali menyendok potongan pudding terakhir yang tersisa di mangkuk.

Aku mengambil piring kotor yang ada di meja makan, lalu membawanya ke westafel untuk aku cuci.

"Biar aku aja yang cuci piring. Kamu duduk aja di bangku."

Aku menolak. Ini adalah tugas seorang istri, bukan? "Enggak usah, Pradipta. Kamu aja yang duduk sana." Aku kembali melanjutkan aktivitasku yang tadi sempat tertunda.

Tiba-tiba aku merasakan pelukan di sekitar pinggangku. Tangan besarnya memelukku, dan dagunya ia tumpukkan di lekukan leher.

"Gimana kalau mulai sekarang ini, kamu panggil aku dengan sebutan Mas Pradipta? Terdengar lebih romantis."

Apa, Pradipta? Jadi aku bisa memanggilmu 'Mas' tanpa harus ada keluarga di sekitar kita? Pipiku memanas seketika. Diriku bertanya-tanya, inikah efek yang ia hasilkan saat kami berdua menyandang sebagai dua insan manusia yang terikat dalam suatu pernikahan?

Aku memutar-mutar cincin pernikahanku yang melingkar di jari manisku. Tersenyum penuh arti tanpa Pradipta sadari.

"Baiklah. Aku akan mencoba melakukan itu, Mas Pradipta."

Nadipta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang