Malam itu, mati-matian gue menanyai keberadaan Naida. Sampai akhirnya gue tahu rumah yang Naida tempati dari Naila. Terlepas dari pertikaian kami tempo lalu, gue memohon pada Naila dan berjanji untuk meminta maaf pada Naida tentang semua hal yang udah gue lakuin ke dia. Dengan luluh, Naila memberikan alamat Naida. Walaupun saat itu hujan sangat deras, gue enggak peduli. Yang ada di otak gue, hanya Naida dan perkataan minta maaf dari bibir gue. Gue yakin, hati Naida sebaik bidadari di surga. Dia akan maafin gue yang udah enggak berguna ini. Hati dia terlalu suci buat gue yang udah nyakitin dia habis-habisan.
Keluar mobil tanpa menggunakan payung, gue memanjat pagar hitam yang memisahkan jalanan dengan halaman rumah Naida. Masa bodoh kalau ada orang yang lewat dan pikir kalau gue punya niat jahat ke Naida. Karena toh, kami adalah sepasang suami istri yang sah. Jadi walaupun gue tertangkap basah, gue bisa mengelaknya.
Walaupun teredam suara derasnya hujan, suara gue membuat Naida membuka pintunya. Saat kami saling menukar pandangan, gue bernafas lega karena sudah kembali nemuin tulang rusuk gue yang sempat gue buang. Kalau ada orang terbodoh di dunia, maka itu adalah gue. Pradipta Hamzan.
Gue peluk dia, dan Naida menangis di pelukan gue. Naida masih mengira kalau itu adalah mimpi. Gue pun juga begitu. Pelukan kami seperti mimpi yang indah dan gue enggakingin terbangun karenanya. Kami berpelukan di sofa sampai akhirnya tertidur bersama.
Ketika gue membuka mata, aku melihat Naida yang masih tertidur pulas dalam rengkuhan gue. Nafasnya sangat teratur, matanya terpejam polos. Ini adalah pertama kalinya kami tidur bersama dalam satu kasur yang saat ini adalah sofa. Tiba-tiba pikiran gue melayang ke malam pertama kami tatkala memandang wajah damai Naida.
Kami terdiam satu sama lain di satu kamar yang bersamaan. Naida masih duduk menunduk di depan meja rias. Rambutnya terjuntai menutupi sebagian wajahnya. Sedangkan gue duduk di sofa dan lebih tertarik untuk main game di ponsel pintar gue.
"Aku tidur di kamar sebelah aja." Naida berdiri dari duduknya.
"Jangan. Kamu mau semua orang di rumah ini tahu kalau kita tidak benar-benar berperan sebagai sepasang suami istri?"
Ia berhenti. "Tapi kamu pasti risih kalau sekamar sama aku."
"Kamu bisa tidur di ranjang. Saya akan tidur di sini. Jangan berani-berani kamu tidur di kamar lain. Ngerti?"
Naida mengangguk. "Kamu tidur di ranjang aja, Pradipta. Aku bisa tidur di sofa. Apalagi besok kamu sudah langsung kerja."
"Bisa enggak untuk nurut apa yang saya bilang, Naida? Lebih baik kamu tidur dan jangan bicara. Saya sudah pusing dengan pernikahan ini dan kamu jangan menambah saya pusing. Apa salahnya tinggal tidur dan tidak membantah."
Saat itu, gue benar-benar emosi. Bukannya senang, gue malah ditambah marah oleh Naida yang keras kepala. Untungnya, Naida tidak lagi membantah dan mulai menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut. Gerakannya itu menjatuhkan kelopak-kelopak bunga mawar merah yang entah kenapa ada di ranjang itu.
"P-Pradipta?" Naida memandangku dari balik bulu matanya. Sikapnya mendadak gelagapan tatkala menyadari tubuhnya yang sedang aku peluk. "Maaf."
"Kamu tidur nenyak, Naida." Gue mencoba tersenyum.
Ia bergerak gelisah di tempatnya. Gue meraih tangannya yang sejak tadi ia remas. Matanya bertemu dengan mata gue. Pandangannya benar-benar menyiratkan kalau batin dia terluka. Naida dan setiap tatapannya itu membuat gue jadi semakin bersalah.
"Kenapa kamu disini? Terus kenapa tadi kita pelukan?"
"Saya kesini mau minta maaf sama kamu. Kalau soal pelukan itu, hm... saya rindu kamu."
Senyumannya disembunyikan dengan tundukan kepalanya.
"Kamu mau maafin aku, Naida?" tanya gue. Naida menggeser duduknya sejengkal lebih jauh. Kenapa, Naida? Apa respon kamu yang seperti itu tandanya adalah kalau kamu nolak permintaan maaf?
"Tapi kenapa kamu tiba-tiba berubah jadi begini, Pradipta?"
"Karena saya sadar, kalau saya adalah suami yang paling bodoh. Saya udah buang mutiara milik saya yang berharga. Dan sekarang saya mau ambil kembali mutiara itu dan menjaganya. Kamu mutiara itu, Naida."
Naida menggeleng, hati gue tiba-tiba mencelos pasrah. Kalau pintu maaf itu udah enggakbisa lagi terbuka buat gue, apa lagi yang harus gue perbuat? Kelakuan gue emang udah benar-benar enggak bisa dimaafin, bahkan untuk Naida. Se-brengsek itukah gue? Maaf, Naida. Gue emang orang yang pantas dibenci di hidup kamu.
"Apa aku bisa percaya lagi sama kamu, Pradipta?"
"Akan saya coba, Naida. Kesempatan kamu seperti golden ticket untuk saya memperbaiki semuanya. Kepercayaan kamu yang membuat saya yakin."
"Apa dengan begitu kamu bisa bahagia bersama aku, Pradipta?"
Gue mengangguk mantap. "Kamu kebahagian aku, Naida. Pernikahan kita anugrah terindah yang saya punya. Sayangnya, saya baru sadar itu saat kamu pergi dari kehidupan saya."
"Boleh aku bertanya sesuatu, Pradipta?" aku memeluk tubuhnya sebagai jawaban iya. "apa aku berharga bagi kamu?"
Gue tertegun dengan pertanyaan menohok yang Naida tanyakan. Kenapa dia betanya seperti itu? Naida menunggu meminta jawaban. "Dulu saya anggap kamu kalau kamu sumber bencana dari hidup saya. Pernikahan kita saya anggap sebagai halilintar di siang bolong. Begitu mendadak dan saya enggak bisa terima itu di hidup saya. Apalagi, saya yang menjalani itu semua. Saya benar-benar benci sama kamu, Naida. Saya selalu bersikap kamu enggak berguna di hidup saya. Saya selalu menganggap kamu angin yang saya hiraukan. Kamu orang yang merusak segalanya, Naida." Pundak Naida semakin bergetar, aku memeluknya lebih erat.
"Tapi Tuhan selalu adil. Perempuan yang saya cintai saat itu, selingkuh dari saya. Tuhan memberikan karmanya pada saya. Semenjak itu, saya semakin benci kamu, Naida. Tapi lama kelamaan, saya sadar kalau saya sudah terlalu kasar pada kamu. Sampai Tuhan menunjukkan kalau aku tidak ada apa-apanya kalau kamu pergi dari saya, Naida. Saya benar-benar kalap saat tahu kamu pergi dan menyerah dengan saya. Saya kacau, Naida. Tolong jangan lakuin itu lagi. Tetap di sisi saya. Kalau saya kasar padamu, ingatkan saya. Saya mau memulai lagi pernikahan ini sebagai mestinya dengan kamu, Naida."
Naida mengelus rahang gue, matanya sudah bersimbah air mata. "Aku akan coba, Pradipta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadipta (Completed)
ChickLit-Selesai- Cerita tidak di-private! 👊 Berkisah tentang Pradipta, seorang pengacara muda yang tersesat untuk kembali ke "rumah"nya, yaitu Naida yang tetap tersenyum dan bersabar, bahkan saat Pradipta mengacuhkannya setiap waktu. Ia percaya bahwa ikat...