Otak gue memutar kembali ke masa-masa waktu gue enggak pulang ke rumah. Alasannya cuma satu. Gue udah enggak betah liat muka Naida.
Saat itu, gue tinggal di rumah Mamah. Mamah yang tahu gue pulang ke rumahnya-bukan ke rumah gue dan Naida-enggak bingung dan heran. Justru Mamah nelpon Naida untuk bertanya tentang gue yang enggak pulang ke rumah. Kenapa gue tahu? Karena salah satu kebiasaan Mamah kalau nelpon, yaitu selalu me-loud speaker sambungan teleponnya."Kamu ini, Sayang. Suami kok malah enggak disuruh pulang." Gue yang lagi makan, langsung menajamkan indera pendengaran waktu Mamah menelpon Naida.
"Maaf, Mah. Aku enggak tau kalau Pradipta lembur." Jawab Naida. Halah, gue yakin dia juga pasti seneng kalau gue enggak pulang ke rumah. Cewek mulutnya emang berbisa!
"Sebenernya Mamah enggak keberatan kalau Dipta nginep di sini. Tapi, Mamah justru enggak enak sama kamu."
"Loh... kenapa, Mah? Mungkin Pradipta lagi kangen sama Mamah."
Mamah tertawa menjawabnya. Gue cuma bisa pasang kuping, manggut-manggut sambil menikmati sarapan. "Kamu kan, pengantin baru."
Sontak, gue tersedak. Semua makanan yang masih dalam tahap gue kunyah, langsung gue sembur. Mamah pasang tatapan mendelik seolah-olah gue ancaman makanan dia. Ya bayangin aja, lah! Maksud Mamah gue waktu itu apaan? Pengantin baru? Itu benar-benar ambigu, woy! Yang artinya kalimat itu memiliki dua makna. Gue enggak habis pikir sama Mamah. Beliau emang benar-benar udah klop sama Naida. Sayangnya, gue enggak.
"Enggak apa, Mah. Salam aja buat Pradipta, ya."
"Oke. Pagi ini kamu jangan kangen-kangenan sama Dipta dulu, ya."
Dalam hati, gue menjawab ucapan Mamah. Enggak akan, Mah! Gue enggak bakal sudi buat di kangenin sama Naida. Siapa dia emangnya?
Deringan ponsel, membuat gue terduduk di sofa. Buru-buru gue cari sumber suara. Gue cari seperti orang kalap, grusak-grusuk muter-muter enggak tentu arah. Padahal, udah jelas-jelas kalau ponselnya ada di saku celana gue. Astaga!
"Halo?" sapa gue.
"Dipta, Naida kemana? Kok dia belum datang ke kantor?" ternyata Mamah yang tanya tentang Naida.
Tunggu? Naida belum ke kantor. Gue cek, udah jam sepuluh pagi dan enggak biasanya Naida belum datang ke kantor. Gue tahu, karena biasanya Mamah selalu dumel ke gue. Ini bukan Naida yang biasa. Tanpa pikir panjang, gue buru-buru berlari ke kamar Naida. Holy Crap! Praduga gue bener. Naida enggakada di kamar. Waktu gue buka lemarinya, kosong! Semua bajunya enggak ada. Bahkan, cadangan handuk yang ada di kamar mandinya, udah enggak ada. Kemana Naida? Kemana? Gue jadi merasa bersalah begini.
"Dipta! Jawab Mamah." Gue lupa kalau masih tersambung telepon sama Mamah. Gimana ini? Apa gue harus bohong. Masa bodoh, lah. White lies, ini. Masih bisa ditolerir.
"Naida lagi sakit, Mah."
"Apa? Yaudah, nanti Mamah ke sana, ya?" Shit! Gue salah ngomong, kan.
"Ng-enggakperlu, Mah. Nanti Dipta panggilin dokter pribadi Dipta aja." Gila! Gue keringet dingin begini.
"Badannya panas, Dip?"
"Iya, Mah. Udah, Mamah tenang aja, ya. Naida biar Dipta yang urus. Mamah enggak perlu khawatir."
Terdengar helaan nafas pelan dari Mamah. "Yaudah. Salam buat Naida, ya. Semoga cepet sembuh. Kasihan menantu Mamah."
Akhirnya! Gue udah ngerasa kayak sidang disertasi kedua!
Yang jadi pertanyaan gue sekarang, Naida pergi ke mana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadipta (Completed)
ChickLit-Selesai- Cerita tidak di-private! 👊 Berkisah tentang Pradipta, seorang pengacara muda yang tersesat untuk kembali ke "rumah"nya, yaitu Naida yang tetap tersenyum dan bersabar, bahkan saat Pradipta mengacuhkannya setiap waktu. Ia percaya bahwa ikat...