06. Pradipta

40.8K 2.2K 9
                                    

"Gue mau minta maaf." Ega mengulurkan tangannya. Gue mengernyit heran. Setan apa yang bikin otak konsletnya jadi nyambung lagi begini? Karena enggak biasanya Ega berubah macam spiderman.

"Gue minta maaf buat masalah kita yang kemarin." Dia membenarkan. Gue oh-oh aja. Karena perkataan Ega emang bener, dan gue baru menyadari itu. Apa gue yang harus minta maaf? Biarin aja lah, sama Ega doang ini.

"Lo juga ada benernya. Gue baru sadar setelah Naida pergi dari rumah."

Ega menggebrak meja gue, membuat gue melotot ke arahnya karena udah ganggu gue nulis. "Apaan sih lo, Ga?"

"Serius Naida minggat?"

Gue mengangguk. "Kira-kira dia minggat ke mana ya?"

Ega nampak berpikir. "Ke rumah Mamahnya, mungkin. Telepon sana! Ngabdi jadi mantu yang baik."

"Lo pikir gampang? Tiba-tiba telpon Mamahnya, terus langsung tanya 'Naida kemana ya, Bu?' gitu? Gila, langsung digorok leher gue." gue berdecak, membuang mentah-mentah saran dari si sableng Ega itu.

Dia menggaruk tengkuknya. "Terus gimana ya? Gue juga bingung."

"Apalagi lo, Ga! Gue juga bingung!"

Matanya menjurus serius ke gue. Kepalanya mendekat. Sial! Ega mau ngapain? Kok gue ngeri begini ya? Buru-buru gue ikut menjauhkan kepala dari kepala Ega yang semakin mendekat. "Ngapain lo?!"

"Gue mau nanya serius sama lo, Dip."

Gue memasang tampang heran. "Sok serius dah lo."

"Lo ... udah bisa nerima Naida?"

Kenapa lo tanya kayak gitu, Ga? Jujur, gue juga belum bisa jawab sebenernya apa perasaan asli gue ke Naida. Tapi, semenjak Naida pergi, rasanya kok ada yang hilang dari jiwa gue. Apa ini namanya gue udah bisa nerima Naida dan enggak rela kalau dia pergi ninggalin gue? Apa begitu, Tuhan?
"Gue rasa, iya."

Senyum jahil Ega tercetak jelas di wajahnya. Ini anak minta digampar.

"So ... lo mau gimana setelah ini?"

Gue menggeleng.

Ega menepuk punggung gue. "Masih ada gue, Dip. Tenang aja." Dan gue ikut tersenyum, walau gue sendiri rada geli bisa senyum-senyuman ke Ega. Gue masih straight. Gila aja gue kalau cuma gara-gara Naida minggat, seksual gue berubah. Big No!

Deringan ponsel bikin gue senyam-senyum sendiri. Di sana, terpampang nama Mamah. Gue bisa nih, ulik-ulik informasi ke Mamah tentang Naida. Siapa tahu, dia berangkat kerja terus gue bisa nyamperin ke sana dan jemput dia pulang. Minta maaf ke dia, dia nerima, terus kita jadi suami-istri samara. Hahaha impian gue terlalu tinggi ya? Tahu Naida ada dimana aja, udah bikin gue keringet dingin enggak kepalang senangnya.

"Iya, Mah?"

"Kalian udah sampai rumah belum? Kamu rawat Naida yang bener, ya. Tadi di kantor, dia lemes banget."

Naida sakit? Astaga... istri gue sakit dan gue enggak ada di samping dia? "Iya, Mah."

"Jangan iya-iya doang! Lakuin, Dipta. Besok dia sama Mamah harus pergi meeting."

"Jam berapa, Mah?" gue bertanya antusias.

"Jam sepuluh." Gue cek jadwal gue sendiri. Karena biasanya, jam segitu gue juga ada rapat dengan tim gue.

"Antar Naida ya, Dip?"

"Dipta usahain, Mah."

"Kamu jangan galak-galak sama Naida ya, Dip. Kasihan dia, kayaknya bebannya banyak banget."

Nadipta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang