04. Pradipta

44K 3K 33
                                    

Gue benar-benar menyesal udah mengiyakan ajakan Naila, sepupu Naida, yang minta gue untuk ketemu dengan dia malam ini. Gue enggak habis pikir, karena kalau menyangkut Naida, pasti ini ada apa-apanya dengan hubungan pernikahan gue sama dia. Shit!

Sejak tadi, gue terus mengulang pertanyaan yang gue sendiri belum menemukan jawabannya. Apa selama ini Naila juga tahu masalah gue sama Naida? Apa dia juga tahu kalau gue sama Naida Cuma akting? Karena mereka yang tahu tentang drama ini, cuma temen-temen terdekat gue, Sarah, dan tentunya Naida sendiri. Atau gue harus cari aman aja, untuk bersikap seakan-akan ini cuma pertemuan biasa antar keluarga pasangan.

"Sorry nunggu lama." Perempuan muda duduk di depan gue. Tangannya membenahi rambutnya yang sedikit berantakan. Gue membalas dengan senyuman.

"Santai aja. Saya belum nunggu lama."

"Sudah pesan minuman?" Tanyannya sambil meraih sebuah buku menu di samping gue. Setelah gue amati-yang gue sendiri bingung kenapa-kalau ternyata, mata Naila dan Naida memiliki sedikit kesamaan. Begitu pula dengan hidungnya. Gue tidak bisa mengelak kalau Naida memang cantik. Bahkan, gue berani ngaku kalau Naida emang lebih anggun dibanding Sarah. Well, dari segi feminisnya menurut gue.

Pertama kalinya gue bilang kalau Naida anggun itu, saat setelah gue mengucap ijab qabul dan Naida datang menghampiri gue dengan gaun pernikahan paling bagus yang keluarga gue pilihkan.

Gue ingat banget moment dimana dia berjalan yang digandeng dengan Ibunya, sambil mengangkat sedikit gaunnya yang panjangnya sampai menjuntai ke lantai. Warna putih gading, kesucian cinta. I cant describe that. The girl's dress was so difficult, and im worry about. Tapi, di balik kesusahan itu, tersimpan keanggunan yang memancarkan sikap anggun sebenarnya yang Naida punya.

Terlepas dari raut mukanya yang tidak bahagia. Same to me. Saat itu, gue juga enggak terlalu bahagia saat status lajang gue akhirnya tanggas. Tapi, dengan segala macam ekspresi yang gue punya, gue bisa nutupin itu. termasuk dengan menggunakan ekspresi kekaguman gue dengan Naida saat itu.

"Dipta, kenapa ngelamun aja?" ujar Naila. Sejak kapan makanan dan minuman ini tersaji di meja?

Gue geleng kepala dan kembali ke dunia realistis. Menyunggingkan senyuman ke Naila. Harap cemas supaya Nailatidak curiga dengan gelagat gue.

Kami makan dalam diam. Keluarga gue memang sudah membiasakan agar tidak bicara saat makan. Faktor kesopanan juga dan memang kalau di agama, makan sambil bicara tidak diperbolehkan. Alhasil selama hampir setengah jam gue mati kebosanan.

"So... Gimana kamu dengan Naida?" Tanyanya setelah makanan di piring sudah habis.

Like I said. Dia pasti ngomongin Naida. "Good." Gue menjawab seadanya.

"Raut mukamu tidak menampilkan demikian, Dipta. Jujur saja."

Oke. Gue bisa tebak, kalau Naila tahu sesuatu tentang drama gue dengan Naida. "Sejauh mana lo tahu antara gue dengan Naida?" tanya gue.

Dia membalasnya dengan senyuman. "Ternyata benar perkiraan saya. Naida menunjukkannya lewat ekspresi sedih setiap kali saya menanyakan tentang kalian."

Gue akui, kalau Naida bukan aktris yang baik. Buktinya, Naila sampai bisa tahu semua ini.

"Setidaknya hargain Naida, Dip." Lanjutnya.

"Enggak perlu peduli dengan pernikahan gue." Gue berusaha untuk bersikap gentleman. Berlaku sopan pada perempuan. Terlebih ini adalah sepupu kandung Naida.

"Naida sepupu saya, Dipta. Dia udah saya anggap sebagai kakak kandung saya sendiri. Dan kamu pasti tahu konsekuensinya kalau sakitin Naida."

Gue berdecak. Benar-benartidak tertarik dengan arah pembicaraan Naila. "Bukan urusan saya."

Nadipta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang