07. Naida

40.4K 2.4K 9
                                    

PART INI LUMAYAN PANJANG 😁
Happy reading everyone!! 😘😘

*********

Aku dan Mamah Karina turun dari mobil yang dikendarai Pak Kadir-sopir pribadi Mamah Karina. Kami sudah tiba di sebuah gedung pencakar langit yang sangat besar. Perusahaan Pak Anantara, partner dari perusahaan Mamah Karina. Aku mengecek jadwal kami yang lima menit lagi akan dimulai.

Ada sebuah slogan, bukan orang Indonesia kalau tidak telat. Menurutku, itu sama saja menjatuhkan harga diri rakyat Indonesia yang kalau sudah mendapat cap seperti itu, pasti akan seterusnya akan dipandang sebelah mata dan tidak professional. Yaa... walaupun pada faktanya, sebagian besar masyarakat memang seperti itu. Jam segitu mereka janjian, dan jam segitu pula dia baru jalan. Ckck...

"Nyonya Hamzan?" tanya seorang resepsionis kantor yang menyambut kami ramah.

Mamah Karina mengangguk dan tersenyum membalasnya.

"Mari saya antar. Tuan Anantara sudah menunggu tim anda."

Ah, untungnya Mamah Karina mendapatkan klien yang juga menghargai waktu. Jadi, waktu terbatas yang diberikan Tuhan, tidak akan terbuang sia-sia dan digunakan sebaik mungkin, se-efisien mungkin.

Ternyata, ruangan Pak Anantara berada di lantai lima belas. Dan itu tandanya, mereka harus melewati lantai sembilan. Tolong, aku sangat takut dan trauma dengan lantai sembilan.

Saat itu, aku yang masih menginjak remaja, mendapatkan insiden 'lift macet' tepat di lantai sembilan. Dan di dalam lift tersebut, hanya ada aku sendiri. Bagaimana tidak tertekan? Berada di dalam lift sendirian dengan keadaan lift macet, lampu lift yang kedap-kedip, dan pantulan diriku sendiri di cermin yang terpasang di dalamnya.

Aku menggedor-gedor pintu lift yang tak kunjung terbuka. "Tolooongg...!!"

Setelahnya, justru aku semakin teriak kesetanan karena liftnya semakin terjerumus ke bawah. Aku tobat. Serius. Benar-benar membuat voice note berisi permintaan maaf untuk keluargaku. Konyol, sih. Tapi, namanya juga orang panik 'kan? Semua pikirannya tidak bisa terkontrol. Alhasil, sampai aku dewasa, aku benci jika harus melewati lantai sembilan. Untungnya, kantorku ada di lantai enam dari sepuluh lantai perusahaan Mamah Karina yang menjulang tinggi. Jika tidak ada yang terdesak, aku tidak akan pernah mau ke lantai sembilan. Kalaupun benar-benar mewajibkan, aku akan pinta lima orang untuk menemaniku.

Dan sekarang? Aku bisa bernafas lega karena di dalam lift ada sekitar delapan orang. Aku, Mamah Karina, tim Mamah Karina; Pak Gatot dan Ibu Anya, perempuan resepsionis yang tadi, sepasang manusia yang berkemeja seperti karyawan kantor ini, dan yang satunya lagi adalah seorang cleaning service dengan seragam birunya.

Ting!

Lift berdenting dan pintunya terbuka. Aku meremas tanganku yang sudah keringat dingin lalu buru-buru keluar mendahului orang-orang yang juga akan menuju lantai lima belas. Aku menghembuskan nafas yang terus beradu seraya mengedarkan pandangan ke sekitar. Sampai saat aku terjatuh ke dalam tatapan seorang laki-laki yang tidak asing. Ia pun tengah menajamkan indera penglihatannya ke arahku. Kacamata bingkai hitamnya sangat apik bertengger di pangkal hidungnya yang mancung bak orang Eropa. Potongan rambutnya sangat maskulin.

"Hai. Kita ketemu lagi ternyata." Sapanya saat kakinya berhadapan dengan ujung stilleto hitam milikku.

Aku mengerjapkan mata dan mengalihkan pandangan ke Mamah Karina yang ikut maju selangkah di depanku. Tangannya diulurkan untuk menjabat laki-laki itu.

"Selamat siang, Pak Anantara."

"Selamat siang, Nyonya Hamzan." ia tersenyum.

Rasanya aku ingin pingsan sekarang juga. Laki-laki yang mengantarkanku pergi dari rumah Pradipta adalah partner dari Mamah Karina. Mengapa dunia sesempit ini? Sejak tadi sampai akhirnya aku duduk di ruang rapat, pikiranku terus berkelana pada beberapa kemungkinan yang terjadi kalau Pak Anantara ini membeberkan kejadian lusa lalu. Bisa gawat kalau Mamah Karina tahu mengenai hal itu, kemudian akan mengomeli Pradipta. Dan imbasnya, Pradipta akan bersikap dingin sepanjang hidupku. Atau lebih parahnya, ia membentakku dengan geraman emosinya yang meluap-luap.

Nadipta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang