11. Pradipta

44.8K 1.7K 3
                                    

Hari ini gue udah fix jadi supir cinta buat Naida. Jadi supir cinta pribadi istri gue sendiri itu, bangga banget! Jadi supir cinta itu bisa menambah intensitas ngobrol kita. Kenapa? Karena pasti selama perjalanan, kita akan cerita satu sama lain. Tadi, gue cerita ke Naida kalau gue berhasil menangin kasus pejabat yang kena skandal penipuan itu. Naida antusias banget dengar itu. Apalagi pas gue lihat senyum dia yang bikin melted.

Sedangkan Naida, cerita tentang Mamah yang enggak bolehin Naida untuk kerja terlalu berat dan nguras otak. Kalau gue sih dukung banget, gue enggak mau kalau istri gue capek-capekan kerja. Bukannya itu tugas seorang suami untuk cari nafkah? Sebenarnya, gue enggak mau kalau Naida kerja. Cukup gue aja yang cari uang, sedangkan istri gue duduk manis di rumah dan nyambut gue dengan penuh kehangatan pas gue sampai di rumah. Tapi setelah gue pikir-pikir, nanti sajalah. Kita baru aja baikan, dan gue enggak mau untuk terlalu mengekang Naida. Lagipula, Naida masih nyaman dengan kerjaannya, apalagi bos nya kan Mamah, jadi gue bisa jadi tim sekutu Mamah dan bersekongkol dengan beliau perihal jam kerja Naida. Apalagi, Naida menantu kesayangan Mamah.

Kembali lagi ke benefit supir cinta pribadi. Selain bisa ngobrol panjang lebar, senangnya itu pas udah sampai tempat tujuan. Gue bisa curi-curi cium kening Naida. Hanya sebatas itu, karena gue enggak mau membuat Naida shock. Bisa-bisa gue ditendang suruh tidur diluar. Habis kasih salam perpisahan, Naida cium punggung tangan gue. Astaga... untuk pertama kalinya, gue merasa gemetaran enggak bisa dikendaliin waktu Naida melaksanakan kewajibannya ke gue. Walaupun ini bukan pertamanya dia membuktikan tanda bakti ke suami, rasanya beda banget dari yang pertama—moment pertama kali saat ijab qabul—untuk yang kedua ini, lebih ada rasa gelenyar rasa bangga dan sendu yang bersamaan. Bayangin aja, men. Gue harus ngemban tugas yang berat banget, gue harus benar-benar memegang tangan Naida dan menuntunnya untuk menjadikan keluarga gue seperti yang dido'akan orang-orang, yaitu sakinah mawadah warahmah. Gilanya, gue baru sadar akan hal itu! Saat itu juga, gue sadar kalau gue harus jadi suami yang baik dan kelak akan jadi ayah yang baik untuk anak-anak gue nanti.

Tekad gue, pokoknya gue harus jadi laki-laki bertanggung jawab, dan imam yang baik untuk Naida—setidaknya untuk sekarang ini. Apalagi, Mamah yang terus-terusan minta dikasih cucu. Selalu neror gue saat beliau mampir ke kantor, ke rumah gue, atau waktu gue mampir ke kantor Mamah. Gue enggak ingat kapan beliau bilang pertama kali, tapi yang pasti itu udah lama banget. Saat itu, gue masih enggak bisa nerima pernikahan gue dengan Naida dan hanya bisa mengiyakan permintaan Mamah. 

"Dipta... ini udah hampir lima bulan kamu nikah, kok belum ada progress sih?"

Gue mengernyit bingung. Progress apa sih, Mah? "Ada apa Mamahku sayang?"

"Ini tentang Naida. Kok dia belum hamil-hamil sih?"

Sontak, gue semburin air yang lagi gue teguk. Gue lirik kanan kiri, untungnya enggak ada orang jadi harga diri gue enggak jatuh gitu aja. Bayangin kalau orang-orang tahu, mau taruh dimana muka gue yang tampan ini?

"Pradipta!" Mamah berteriak.

"Ya Mamah sabar aja. Dipta juga lagi usaha kok. Kan enggak bisa cepet-cepet. Kita harus sabar, Mah. Mamah do'ain aja." Gue berusaha membuat beribu alasan dengan harapan membuat Mamah bungkam. Boro-boro usaha, nyentuh dia aja gue masih enggak sudi.

"Besok Mamah mau ke toko jamu langganan Mamah."

Gue tambah keheranan. Apa hubungannya usaha sama ke toko jamu? Otak gue lagi malas mikir banget. "Ngapain? Encoknya Mamah kambuh lagi?"

Pulpen biru berhasil mendarat di kening gue. Sial! Mamah gue sadis juga ternyata.

"Mintain jamu yang tokcer buat kamu biar Naida langsung hamil terus Mamah biar cepet nimang cucu."

Gue tergagap. "Apa?!" gilaaaaa...!!!!!

"Woi, Dip!" Ega nyadarin gue dari lamunan.

"Ngapain lo senyum-senyum sendiri?"

Sial! Gue pasti langsung dicap gila sama Ega gara-gara gue ngelamunin jamu tokcer yang Mamah kasih. Lagian kok bisa-bisanya gue melamun di tempat kerja?

"Woi... orang nanya jawab kali!" dia kembali menepuk punggung gue.

"Sakit, Ga! Sarap lo!" temen gue yang satu ini justru makin terbahak.

"Lo ngelamun mesum ya?"

Ega meringis kesakitan saat gue memukul kepalanya dengan buku pasal pidana. Tangannya masih mengusap kepalanya. "Kalau gue benjol gimana? Ganteng gue bisa ilang, Dip!"

"Kalau ngomong jangan asal njeplak makanya."

"Lagian juga yang asal njeplak siapa? Emang bener kan? Lo lagi mikir mesum? Cowo senyum-senyum sendiri itu tandanya dia mikirin yang enggak-enggak. Teori udah kebukti!"

"Ngaco! Teori dari mana tuh?"

"Dari profesor Ega."

Gue mengibas tangan di udara. "Teori lo sesat semua, Ga!"

"Kata siapa? Teori gue udah kebukti sama gue sendiri! Enggak ada yang bisa nyangkal!"

Mulut gue enggak bisa menahan untuk terbahak mendengar Ega. "Njrit!! Profesor edan!!"

Kami berdua kembali terbahak.

Nadipta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang