Chapter 1

2.5K 90 16
                                    


Cuaca menjelang sore hari ini cukup mendukung, tidak panas dan tidak juga mendung, adem ayem. Kuletakkan tas gendongku di meja belajar, mengeluarkan laptop dari dalam tas dan mengisi ulang baterainya. Aku hendak membuka jilbab ketika pintu rumah ada yang mengetuk.

"Assalamu'alaikum," terdengar suara dari luar, aku bergegas keluar kamar untuk membuka pintu.

"Wa'alaikumussalam," kujawab salam sambil membuka pintu. Mataku membulat sempurna melihat sosok di hadapanku.

"Sasa!" ucapku histeris. Kami refleks berpelukan ala teletubbies. Cukup lama dan saling bergemas ria.

Setelah puas berpelukan dan bertanya kabar, kupersilakan Sasa masuk ke dalam rumah. Sasa adalah teman SMP ku, kami cukup dekat ketika di sekolah dulu. Rasanya sudah lama sekali kami tidak bertemu, Sasa pindah ke Indramayu setelah lulus SMP. Aku baru mengetahui kalau ia sudah kembali ke Bogor sebulan yang lalu, ketika dia bilang bahwa ia diterima di salah satu PTN ternama di Bogor. Dia memilih pindah kampus saat memasuki semester 3.

"Wih beda ya lo sekarang," ucap Sasa ketika kusodorkan minum dan beberapa toples cemilan.

"Beda apanya?" aku ikut duduk di sebelah Sasa.

"Muslimah banget ih, cantik. Hahaha," Sasa memperhatikanku dari atas jilbab sampai ujung rok.

"Belajar, hehe," aku menjawab malu-malu.

"Termotivasi apa lo sampe bisa jadi gini? " tanyanya yang masih menatapku.

"Masa lalu, hahaha" kami tertawa, sama-sama mengerti apa yang kumaksud.

"Lingkungan juga kali, ya? Di kampus lo kaya begini semua kah penampilannya?" Sasa menatapku penuh tanya, kebiasaan anak ini, kalo sudah kepo pasti memasang tampang begitu.

"Sebagian besar iya, tapi gue begini karena memang kemauan sendiri kok," jelasku.

"Iya iya percaya," Sasa menjawab dengan nada meledek.

"Nanti Dio gue suruh masuk situ ah, biar dapet istri yang muslimah. Hahaha," candanya. Dia memang care sekali pada adiknya itu. Saking care nya Dio sering dijadikan kelinci percobaan.

"Lo aja mendingan yang masuk situ, biar cepat tobat," ucapku bergurau.

Kami menghabiskan waktu bercanda dan sedikit bernostalgia masa-masa SMP. Astaghfirullah, sebenarnya aku malu banget kalo ingat masa-masa itu. Zaman jahiliyah dalam perjalanan hidupku.

"Eh iya, sampai lupa. Ini loh, gue mau nganterin undangan reuni SMP angkatan kita. Sebenernya ini di share di grup WhatsApp, tapi lo belum join si, ga ada yang punya kontak lo. Nih, nanti dateng ya!" Sasa menyerahkan kartu undangan berwarna biru laut padaku. Aku menerima dan membacanya.

"2 minggu lagi, di villa Puncak" aku manggut-manggut membacanya.

"Dateng pokoknya," ucap Sasa mengingatkan.

"InsyaAllah," jawabku

Setelah puas melepas rindu dan bertukar kontak baru akibat ponsel lamaku rusak, Sasa pamit pulang karena langit terlihat gelap dan sepertinya akan turun hujan. Aku menyuruhnya menginap di rumahku, tapi dia menolak. Akhirnya aku mengantar Sasa sampai depan pagar rumah.

"Pulang ya gue, pokoknya nanti kontekan, okey?" ucapnya sambil melepas kunciran di rambut keriting gantungnya lantas mamakai helm. Aku hanya balas mengangguk.

"Oiyaaa, salam buat senpai, hehe," ucapnya genit.

"Masih aja genitin abang gue," jawabku meledek, ia terkekeh menanggapinya.

Sasa membunyikan klakson sebagai tanda pamit dan melajukan motor maticnya meninggalkan rumahku. Aku menutup pagar dan kembali masuk ke dalam rumah, merapikan gelas dan toples cemilan, mengambil undangan reuni dan kembali masuk ke kamar.

Aku terduduk di tempat tidur, menatap kartu undangan berwarna biru laut di tanganku. Ada kegelisahan yang mengisi rongga dada ketika menatap kartu undangan itu. Kuhirup udara dalam-dalam dan kuhembuskan nafas panjang sambil menutup mata, itu caraku untuk menetralkan hati dan pikiran ketika merasa tak nyaman. Kuletakkan kartu undangan itu di meja belajar dan kutinggalkan begitu saja.

Kun Fayakun Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang