Chapter 19

638 30 1
                                    


Lantunan ayat Al-Qur’an terdengar begitu syahdu di seantero rumah, membuat telinga terasa damai dan hati menjadi tentram. Aku ikut melafalkan surat Al-Mulk yang sedang dibacakan abangku di kamarnya. Tanganku bergerak tenang mengirisi bawang merah yang akan kumasak bersama telur dan nasi putih untuk sarapan pagi ini.

Alhamdulillah, terimakasih atas nikmatMu di pagi ini ya Allah, telingaku masih diberi kesempatan untuk mendengarkan lantunan ayat indahMu.

Shodaqallaahul’adzim,” abangku telah mengakhiri bacaan Qur’annya.

Aku masih sibuk di dapur dengan spatula dan nasi goreng yang hampir jadi. Jam baru menunjukkan pukul 05.30, masih sangat pagi untuk sarapan. Salahkan abangku yang keukeuh ingin mengantarku berangkat kuliah hari ini. Ya, semalam Kak Maul bilang kalau hari ini ia akan mengantarku berangkat ke kampus, tumben. Kak Maul mengantarku naik mobil, sudah dipastikan kami akan terjebak macet, maka dari itu kami harus berangkat lebih pagi, inilah alasanku memasak sarapan sepagi ini juga.

Terdengar suara deru mobil yang sedang dipanaskan. Aku masih berkutat dengan jilbab lebarku. Tanganku bergerak cepat merapikan tas dan barang-barang yang akan kubawa hari ini ke kampus. Aku harus lebih cepat, hari ini ada kuliah di jam pagi, aku tak mau terlambat di kuliahku yang pertama setelah satu minggu bolos.

“Aku naik ojek online aja kaya biasa ya, Kak,”  tawarku. Jujur saja, aku merasa tak enak jika harus diantar ke kampus begini, nantinya abangku harus putar balik untuk pergi ke kantornya, belum lagi macet yang pastinya tak bisa dihindari karena kita berangkat menggunakan mobil yang pastinya tak bisa bergerak gesit disaat macet.

“Udah, masuk mobil sana, Kakak ambil tas dulu,” jawabnya yang sudah masuk kembali ke rumah. Aku memakai flat shoes biru dongker polos kesayanganku.

Kak Maul sudah mengunci pintu saat aku baru masuk ke mobil. Aku dilanda kebimbangan, serius, kasihan abangku kalau harus mengantarku ke kampus.

“Udah nih, berangkat sekarang ya?” tanyanya setelah memindahkan tas gendongnya ke jok tengah.

“Kak, beneran gapapa? Ribet loh, nanti Kakak bolak-balik jadinya,” tanyaku lagi untuk memastikan kalau abangku tak keberatan.

“Jarang-jarang kan Kakak mau antar kamu ke kampus. Khusus hari ini aja, besok udah kena biaya sist,” aku menahan tawa ketika ia berbicara ala pedagang online shop, belajar dari mana dia?

***

Benar kan? Macet.

Macetnya memang tidak parah sih, hanya padat merayap, tapi tetap saja aku ini selalu merasa gerah kalau terjebak macet di dalam mobil, ingin rasanya aku keluar dari mobil dan jalan kaki saja sampai ke ujung kemacetan. Huh, sabar, sabar.

“Hafalan kamu udah sampe mana?” Kak Maul mengeluarkan suara untuk yang kesekian kalinya. Tadi dia menanyaiku tentang kuliah, organisasi, teman-temanku, sekarang tentang hafalanku. Belakangan ini Kak Maul jadi lebih cerewet, bukan, maksudku jadi lebih peduli padaku.

“Belum nambah banyak, Kak,” jawabku jujur. Sedih sekali kalau mengingat hafalanku yang tak kunjung bertambah, bahkan sepertinya hafalan yang sudah kupunya pun mulai berantakan saking aku terlalu sibuk dengan urusan dunia dan jarang muroja’ah.

“Apa aja tuh?” tanyanya lagi.

“Aku ga urut hafalannya,”

“Ya ngga apa, daripada ngga sama sekali,”

Kun Fayakun Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang