Chapter 23

620 31 10
                                    

Semilir angin membuat jilbab panjangku melambai lembut, aku menghela nafas sejenak, tanganku terulur menggeser pagar besi yang tingginya sejurus dengan mataku. Pintu itu tertutup, senyumku terukir tipis. Kakiku melangkah pelan, ada sedikit keraguan disana. Ah, apa aku pulang saja?

Tidak! Mana mungkin aku pulang. Ini kesempatanku.

Tapi aku malu, minder maksudku.

Kutepis bisikan-bisikan nakal itu. Aku harus tetap melangkah. Aku tak punya alasan untuk beranjak dari sini sebelum maksudku terlaksana.

Huuhh, aku kembali menghela nafas.
Kuketuk pintu coklat berukir itu, aku masih engga bersuara, hatiku bergetar ragu.

Tak ada pergerakan apapun dari pintu coklat dihadapanku, ku ketuk kembali, kali ini dengan ucapan salam yang terdengar lirih.

Assalaamu’alaikum” kuperbesar volumenya, kalau gugup ini tak disingkirkan, justru dia yang akan mengusirku dari sini.

Wa’alaikumussalam, sebentar,” suara itu, aku memejamkan mata pelan, kuatur nafas sedemikian rupa berharap semuanya baik-baik saja.

Klek

Kami bertemu tatap. Tak ada suara apapun kecuali kicauan pendek dari Murai Batu peliharaan Om Indra.

“Mbak..” Elys menghampiriku, aku masih bergeming, menatap mata beningnya dalam diam.

“Masuk, Mbak,” jarinya menyentuh pundakku, mempersilakan aku masuk dan duduk di sofa. Aku masih betah menahan suara.

“Mbak mau minum apa?” kudengar suara itu mulai riang, seperti biasanya.

Elys melangkah ke dapur setelah mendapat jawabanku. Tak sampai 5 menit, derap langkahnya sudah terdengar mendekat ke ruang tamu. Aku tau rumah besar ini sedang sepi. Om Indra dan Bi Emi sedang ke Jombang ikut rombongan besan, begitupun Mama. Semalam Elys bilang kalau ia sedang di rumah mamanya, makanya aku beranikan untuk kesini, sebelum terlambat, sebelum ia  kembali ke Malang.

Kami kembali bertemu tatap. Elys seringkali menunduk merasa kalah kuat adu tatap denganku. Ia ambil posisi disebelah, berbatas tas kecilku.

“Mbak..” aku masih diam menatapnya, tak tau harus apa.

Aku masih bertahan menatapnya, tepat di mata beningnya. Detik demi detik yang terlewat membuat matanya perlahan memerah dan berair. Ia beringsut memelukku. Entah sejak kapan aku mengumpulkan air mata hingga kini sudah bebas terjun dari pelupuk.

“Maaf, Mbak, Elys minta maaf,” aku memejamkan mata, suara lirih itu terdengar parau. Setidaknya Elys punya keberanian lebih daripada aku, ia berani menghancurkan benteng kegugupan diantara kami, ia berani menghapus jarak diantara kami, dan dia berani meminta maaf atas hal yang sama seklai bukan kesalahannya . Tidak seperti aku yang payah begini.

Kami masih pada posisi yang sama, saling memeluk sambil sesenggukan, tanpa bicara. Aku mengakhirinya, tanganku meraih tissu yang tersedia di meja, menyusut air mata dan cairan dari hidungku.

“Maaf, Mbak, Maaf kalau Elys buat salah, Maaf kalau Elys ada nyakitin Mbak Rere,” ucapnya dengan suara yang sudah terdengar jelas, matanya masih basah, aku tak tega melihatnya.

“Sshhh, udah.. seperti yang aku bilang di Whatsapp semalam, aku mau bicara penting, Lys.” Aku membenarkan posisi, senyumku mengembang demi untuk membuat Elys kembali seperti biasa.

“Aku mau cerita semuanya, aku janji ga akan ada yang terlewat,” aku berbicara mantap, mataku menatapnya yakin. Ia mengangguk pasti.

Aku mulai menceritakan semuanya, dari awal, tak ada sedikit pun yang terlewat, sesuai janjiku. Walaupun agak berbelit tapi aku berusaha untuk bercerita sebaik mungkin, kadang aku  bertanya “Ngerti kan?” untuk memastikan bahwa Elys memang memahami maksudku, supaya tak ada kesalahpahaman. Elys beberapa kali membulatkan mata beningnya dan hendak memotong ucapanku, tapi aku memberi kode padanya supaya menahan dulu komentarnya.

Kun Fayakun Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang