Chapter 3

1K 53 2
                                    

“Aku ga siap ketemu orang-orang di masa lalu, aku takut,” dadaku mulai menghangat, selalu begitu yang kurasakan tiap kali mencurahkan segala keluh kesah pada abangku, dia selalu bisa membuatku lebih tenang.

Kak Maul membenarkan posisi duduknya dan mengecilkan volume televisi.

“Ungkapin semuanya, Kakak dengerin,” ia memposisikan duduknya menjadi lebih rileks.

“Kakak tau kan? Aku pernah ada di posisi paling rendah itu ketika SMP. Aku mulai nakal dan banyak ngelakuin hal-hal yang ga seharusnya aku lakuin. Jauh sebelum aku bisa seperti ini, aku pernah menjadi perempuan yang sangat jauh dari kata shalihah. Aku malu, Kak. Pasti teman-temanku hanya mengingat aku yang dulu..” jelasku perlahan.

“Lagi pula aku masih ada di tahap melangkah, aku masih mudah terbawa kebiasaan-kebiasaanku yang lama. Kakak tau itu kan? Kakak yang selalu ngingetin aku ketika aku mulai melenceng lagi, aku.. takut,” tambahku terang-terangan.

“Tapi aku juga kangen sama temen-temenku, Kak. Dan bukannya ga baik ya menolak ajakan untuk bersilaturahmi? Aku bingung, akan lebih baik jika aku datang atau engga. Menurut kakak gimana? Baiknya gimana, Kak?”

“Iya, memang ga baik menolak ajakan bersilaturahmi,” jawabnya tenang.

“Jadi?” tanyaku penasaran.

“Datang saja,” aku mengerutkan dahi dan mulai merasa tersinggung.

“Kakak ga ngerti, sih. Terserah ah, percuma aku cerita,” aku ngambek seketika, jawabannya benar-benar tak memuaskan.

“Kakak menyuruh kamu datang karena Kakak ngerti,”

“Kakak ngerti kamu sedang dalam proses berhijrah, memperbaiki diri. Yang dimana artinya kamu harus siap  meninggalkan keburukanmu di masa lalu dan mulai memperbarui dirimu dengan hal-hal yang lebih baik,”

“Kakak yakin kok, kamu sudah mampu meninggalkan keburukanmu perlahan, kamu juga sudah banyak melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Maka dari itu, kakak berani menyuruhmu datang, kakak tau kamu sudah paham mana yang baik dan ga baik, mana yang harus kamu lakukan dan engga. Kakak percaya, adik kakak yang nyebelin ini bisa berdamai dengan masa lalu. Ingat, Dek. Masa lalu bukan untuk dilupakan begitu saja, kita boleh menengok masa lalu sebagai bahan motivasi kita untuk bisa berubah menjadi lebih baik dan ga mengulangi kesalahan yang sama,” jelasnya panjang lebar, sekarang dadaku benar-benar menghangat mendengar setiap penuturannya.

“Kalo ternyata aku terbawa gimana, Kak? Kakak ngerti kan gelisahnya aku ini?”

“Ngerti kok. Sekarang Kakak tanya, kamu mau kembali seperti dulu atau engga?”

“Ya engga lah, Kak, naudzubillah,”

“Nah, ketika kamu bilang kamu ga mau kembali, seharusnya kamu bisa mengambil sikap, kamu harusnya mulai membangun benteng untuk dirimu sendiri agar kamu ga bisa kembali kesana. Kuncinya ada pada kamu, Dek, kita ga mungkin menyuruh atau memaksa orang lain untuk mengerti kita, tapi kita yang harus mengambil sikap sehingga  orang lain bisa mengerti kita tanpa diminta,” jelasnya lagi.

“Kalo mereka ga nerima aku yang sekarang gimana, Kak? Kalo nanti aku dikucilkan karena aku berbeda? Gimana?” Aku mulai mengungkapkan hal yang sedikit kukhawatirkan.

“Sekarang kakak tanya lagi, kamu berhijrah untuk apa?”

“Ya supaya aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik, yang disayang sama Allah.. ”

“Nah, lalu kenapa kamu masih memikirkan tanggapan orang lain tentang diri kamu?” aku dibuat bungkam, ucapannya tenang namun mengena tepat sasaran.

“Dek, berhijrah itu memang ga mudah. Pertama, kita harus memerangi diri kita dulu, berperang dengan diri sendiri itu sangat sulit. Ada 2 kekuatan batin yang besar di dalam 1 raga, yang satu ingin pergi ke kanan dan yang satunya ingin pergi ke kiri. Kedua, kita harus berhadapan dengan orang-orang yang memiliki beragam pendapat dan komentar yang terkadang menjatuhkan semangat kita. Hijrah itu pada dasarnya adalah meninggalkan keburukan dan mulai mendekat pada kebajikan yang diridhoi Allah, hanya sesederhana itu, tapi perjuangannya luar biasa,”

“Kakak senang banget ketika kamu memutuskan untuk berkuliah di universitas yang bernafaskan Islam, kakak tau saat itu kamu sudah mendapat petunjukNya, Kakak senang banget ketika kamu memutuskan untuk berhijab dan mulai mengoleksi baju-baju panjang. Ga ada yang mudah, Dek. Semuanya akan selalu menuntut sebuah perjuangan,”

“Tadi kamu bilang kalau teman-temanmu hanya akan mengenal diri kamu yang dulu, kan?” aku mengangguk untuk menjawab.

“Nah sekarang waktu yang tepat untuk kamu menunjukkan diri kamu yang sekarang, diri kamu yang lebih baik, diri kamu yang berbeda jauh dengan masa lalumu yang dikenal oleh teman-temanmu itu, sukur-sukur kalo kamu bisa memotivasi temanmu untuk ikut berhijrah,” benar-benar tepat sasaran ucapannya, dia menjawab semua kebimbangan dan kegelisahanku.

“Ini tantangan buat kamu, Dek. Kalau kamu terus menghindar, kamu ga akan tau sudah sejauh mana kamu melangkah. Jika kamu memutuskan untuk ga dateng, kamu akan ngerasa ga enak sama teman-teman kamu kan? Kamu juga akan nahan ridu sama mereka, dan kamu juga berarti melewatkan pahala karena memutus silaturahmi. Tapi jika kamu datang, kamu akan tau posisimu sekarang dimana, jika kamu terbawa kembali oleh teman-temanmu, berarti kamu harus lebih giat melakukan pembaruan untuk diri kamu, tapi jika nyatanya kamu mampu bertahan di jalan hijrahmu, berarti kamu tau bahwa hijrahmu sudah cukup kuat, dan sudah saatnya naik ke tingkat selanjutnya,”

Hening, hanya terdengar suara jarum jam yang berputar pada porosnya dan  bisikan dari speaker televisi.

“Kak?” aku meliriknya, ia hanya menatapku menunggu ucapan selanjutnya.

“Makasih...” ucapku tulus.
Senyumnya mengembang menjawab ucapanku. Ah abangku tercintah!

“Sama-sama. Jangan berusaha kabur dariku, Dek. Kamu ga pandai menutupi perasaan,” senyumnya berubah jahil. Huh mentang-mentang aku sudah luluh!

Handphoneku berdering saat aku ingin membalas ucapan abangku.

Mama

“Assalamu’alaikum, Ma,” aku menjawab telepon.

“Ya Allah.. Mama kecapean, ya?”

“Iya iya, besok aku sama Kak Maul jengukin Mama, ya”

“Iya, Ma,”

“Alhamdulillah kita sehat kok disini,”

“Yaudah, Mama istirahat yang cukup ya, diminum obatnya, Ma,”

“Iya, Ma. Syafakillah, Mama.

“Wa’alaikumussalam,” aku menutup telepon.

Kak Maul sudah memintaku untuk menjelaskan isi teleponkku dengan Mama, lihat saja tatapannya.

“Mama sakit, Kak. Besok kita tengokin Mama, ya. Kakak bisa kan?” ucapku to the point.

Innalillahi, sakit apa Mama?” terlihat raut cemas di wajahnya.

“Tifus, Kak.”

“Yaudah besok kita jengukin Mama, doain Mama ya, Dek.”

“Iya, pasti.” Jawabku yakin.

Aku merapikan laptop dan bergegas mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat Isya, aku ingin  segera mendoakan kedua orangtuaku. Mendoakan Mama agar segera diberi kesembuhan dan mendoakan Papa semoga tenang disana.

Kun Fayakun Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang