Chapter 21

651 36 23
                                    


Buk!

Pintu belakang Vios merah itu ditutup oleh pemiliknya. Mama kembali ke teras dan meraih tas tangannya yang berada di tanganku.

“Maaf ya sayang, Mama udah harus pulang pagi-pagi begini,” Mama memelukku.

“Ga jadi sarapan bareng dong,” aku memanyunkan bibir menampilkan wajah sedihku.

Next time, Mama janji,” aku menarik nafas panjang.

Dari kemarin juga Mama janji-janji terus. Batinku.

Aku melambaikan tangan ke arah mobil yang baru dua malam terparkir di halaman rumah saat sang pemilik membawanya melaju.

Sepi.

Abangku ada tugas di Yogyakarta selama 4 hari, karena aku memang jarang sendirian di rumah, Kak Maul membujuk Mama untuk menemaniku di rumah. Ya, Mama menemaniku, Mama menginap di rumah selama dua malam. Cukup banyak waktu yang kami habiskan bersama. Sarapan dan makan malam bersama. Akan ada yang menciumi kedua pipiku saat aku hendak berangkat dan baru pulang dari kampus. Momen yang sangat jarang aku rasakan.

Sayang sekali Mama harus segera pulang karena ada hal yang tak bisa ditinggalkan di rumahnya, padahal seharusnya Mama baru pulang besok.
Aku merasa kehilangan. Aku tak suka sepi.

Aku beranjak ke dapur, aku menatap malas bubur yang kubuat saat Mama masih tertidur tadi. Karena nafsu makanku sudah menguap entah kemana, aku memutuskan ke ruang tengah. Sepertinya menonton TV bisa sedikit menghiburku.

Aihhh, kenapa isinya gosip semua? Masih pagi loh, kenapa sudah bergosip? Aku menyandarkan tubuh di sofa seperti es meleleh. Aahhh bosan! Kak Maul baru pulang besok dan hari ini aku tidak ke kampus, kuhabiskan untuk apa waktuku?

Baca Qur’an. Batinku berbisik.

Iya sih, tapi nanti deh. Bisikan lain terdengar.

Aku menelisik setiap sudut ruangan. Berantakan ya, sedikit berdebu juga. Aku bangkit mengambil kemoceng, sapu, dan lap. Oh yaa, sudah lama aku tak beberes rumah, ya aampun...

Aku merapikan buku-buku bekas baca yang tergeletak di lemari buffet. Buku bisnis, kumpulan hadits, aih ada novelku juga, aku menyusunnya kembali.

Buku itu lagi. 

Coba diamalkan, Dek,” aku baru saja menyentuh buku itu, kenapa bayang-bayang suara Kak Maul kembali kudengar? Ya ampun.

Coba aja minta petunjuk,”

Petunjuk, apakah harus tetap bertahan, atau berhenti dan meninggalkan?” 

Aku membuka kembali buku itu dengan  pasrah. Kulafalkan niatnya berkali-kali, tapi untuk apa? Batinku berbisik.

“Tapi kamu masih penasaran,”

Supaya usaha ikhlasmu lebih mudah dijalani, Dek.”

Ikhlasku terasa sulit, Kak, berat. Aku ingin ikhlas, tapi sepertinya hatiku masih betah berleha-leha dalam kesakitan.

Kalau memang jodoh, kelak pasti akan bersatu. Tak perlu risau, Allah lebih tau sosok seperti apa yang terbaik dan sesuai untuk kamu tiba-tiba suara lembut sahabatku seolah ikut terputar juga di memoriku. Saat itu, Nara berkali-kali mengulang kalimat terakhir dari ucapannya itu.

Kun Fayakun Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang