Chapter 11

692 31 1
                                    


Kelopak mata perlahan terbuka, berkedip-kedip pelan  membenarkan pandangan. Ujung bibirku tertarik sedikit. Mengucap hamdalah dengan suara parau yang pelan. Bersyukur, bersyukur aku masih diberi kesempatan untuk terbangun di keheningan malam, waktu yang selalu kurindukan selama 3 minggu belakangan ini.

Dingin menyapa saat telapak kaki menyentuh lantai, membuatku sedikit bergidik. Ah, diluar masih hujan sejak aku berangkat ke dunia mimpi malam tadi.

Dengan semangat yang sedikit kendur, –karena udara dingin- kupaksa kaki manja ini terus bergerak mencari sumber air. Telapak tanganku menadah air sedikit, lantas kulempar air itu ke muka. Dingin.

Kali ini aku menggunakan mukena yang lain dari malam kemarin. Kuambil mukena pemberian Papa, mukena yang diberikan padaku sebelum ia pergi ke Singapura menaiki pesawat yang mengalami kecelakaan itu. Aku menyiapkan diri untuk menyambut rahmat Allah malam ini. Menenangkan pikiran agar khusyuk dalam shalat malamku.
Tenang, selalu begitu setiap salam terakhir kutunaikan. Diriku terasa ringan seperti kapas, semua beban yang menggantung di pundaku terasa seperti debu, beratnya tak berarti. Selalu terasa sejuk setelahnya.

Setelah dzikirku selesai, kudekatkan kedua telapak tangan sebagai pertanda bahwa aku sudah siap meminta kepadaNya. Doa-doa yang selalu kuulang tanpa henti di setiap harinya, doa yang tak pernah lupa kuucap seolah sudah terhapal sempurna. Kesehatan dan kemuliaan Mama, ketenangan Papa disana, kesuksesan dan perlindungan untuk Kak Maul, serta kemudahan dan kelancaran untukku. Kalimat itu yang tak pernah berhenti mengisi doa permohonanku sejak dulu.

Ada yang sedikit berbeda sekarang. Aku menambahkan satu poin di daftar doaku. Doa favoritku belakangan ini. Namanya, nama favorit yang selalu kuulang. Aku ingin menghiasi langitku dengan namanya. Nama yang  membuatku  bersemangat untuk terus meminta. Meminta dia, langsung kepada Sang Pemilik.

Tetes demi tetes air bening mulai membasahi pipi, sebagian berhasil menetes diatas kedua telapak tangan. Aku merintih, memelas. Bukan karena sakit, tapi karena aku merasa sangat ingin mendapatkan apa yang kuminta. Aku berusaha tak memaksa, mengikuti perintah Kak Maul, tapi sesuatu di dadaku selalu bergetar saat nama itu kusebut. Hanya Allah yang mengerti isi doaku, hanya Allah yang tau apa yang terjadi padaku.

Kututup doaku dengan memuji namaNya. Aku masih terpejam, merasakan rahmatNya turun membelaiku. Aku selalu membayangkan, tiap kali aku selesai bedoa, Allah mengusap pelan puncak kepalaku, dan itu selalu berhasil membuatku tenang, selalu menghidupkan harapan baru bahwa apa yang terjadi nanti akan baik-baik saja asal aku tak berpaling.

Aku membuka Al-Qur’an pemberian Kak Maul saat pertama kali ia mengantarku ke gerbang hijrah. “Selamat datang di pintu hijrah, pintu menuju kemenanganmu, insyaAllah. Ini pedoman yang akan terus memberimu petunjuk dan menuntun langkahmu. Semua jawaban atas pertanyaanmu ada di dalam sini, semuanya,” begitu katanya.

Ayat-ayat cinta Allah mulai kulantunkan pelan, surat indah yang menyejukkan hati dan mendamaikan telinga selalu menemaniku menunggu panggilan shalat Subuh.

Aku sudah jauh lebih baik sekarang. Hatiku terasa lapang.

***

Aku sudah selesai membuat nasi goreng untuk sarapan. Kak Maul masih mandi, jadi aku harus menungu. Aku memilih merapikan perabot dapur yang terlihat berantakan.

“Tahajudmu rutin ya, Alhamdulillah kalau sudah menjadi sebuah kebiasaan,” suara bariton yang khas itu selalu berhasil membuatku tersentak. Kenapa dia selalu muncul tiba-tiba sih?

“Alhamdulillah, Kak. Sekarang sudah ga berat ngelaksanainnya,” jawabku masih sambil membereskan beberapa perabot dapur .

“Sudah lebih baik?” tanyana tanpa menatapku. Catat, itu kebiasaannya.

“Jauh lebih baik,” ucapku yakin.

Aku masih terus berikhtiar memintanya kepada Sang Pemilik. Doaku masih terus mengalir menyebut namanya, semoga malaikat tak lupa dan tak bosan mencatatnya di langit. Hatiku masih sering menyerukan namanya, tak berubah, masih seperti kemarin-kemarin. Hanya saja sekarang aku mampu lebih tegas pada hatiku. Tapi di sisi lain aku pasrah, memasrahkan semuanya kepada yang memiliki kehendak. Berharap dengan kepasrahanku ini akhirnya Allah memberikannya untukku dan mempermudah semua alur ceritanya. Bukankah seorang ibu yang melarang anaknya membeli mainan pada akhirnya akan memberikannya juga saat melihat sang anak berusaha memohon tiada henti?

Aku tak mau memaksa Allah, aku takut nantinya Allah malah semakin menjauhkannya dariku karena aku yang kelewat cerewet. Aku juga tak mau berlebihan dengan perasaan ini, takut nantinya malah jadi boomerang yang akan berbalik menghancurkanku. Kini aku hanya berjalan tenang, mengikuti alur yang tak kalah tenang. Kenapa harus berontak saat kedamaian menyertaimu?

Alhamdulillah sekarang ini hatiku lebih terasa damai, nyaman, dan sejuk. Sudah seperti taman, eh? Hehe mungkin itu analoginya.

“Jadi ketemu Mama?” abangku sudah melahap suapan pertamanya.

“Insya Allah,” jawabku tenang.

“Titip salam dariku, ya. Maaf aku selalu ga bisa ikut kalau Mama ajak ketemu,” katanya, kali ini ia menatapku, ada raut penyesalan disana.

“Iya, Mama ngerti kok. Tinggal Kakak aja yang atur jadwal buat nemuin Mama, minimal telfon gitu,” jawabku berusaha mengurangi rasa bersalahnya.

“Pasti itu mah, aku sering telfon Mama, kamu aja yang gatau,” nadanya berubah, menyebalkan seperti biasa. Ia menyuapkan sendok nya yang penuh dengan nasi goreng.

“Idih, sewot,” kataku santai, memutar bola mata pertanda aku tak ingin meladeni.

“Hari ini ke kampus? Masih UAS kamu?” aku berdehem sebagai jawaban . Abangku meneguk segelas susu untuk menutup sarapannya. Pantesan perutnya mulai buncit, apa aja masuk ke perut. Dasar perut karet! Aku harus mengingatkannya untuk rajin berolahraga, gimana ada yang kecantol kalau makin hari dia makin bulat?

“Semangat UAS nya adik kecil, jangan mikirin doi mulu. Fokus!!” dia sudah bangkit dari kursi. Aku sedang malas meladeni ucapan nya yang selalu menyebalkan itu.

“Jangan lupa surat Al-Kahfi nya, Kak,” aku mengingatkan abangku yang pastinya tak akan melupakan amalan sunnah di hari Juma’at ini, hanya basa-basi sebenarnya.

Kak Maul hanya mengangguk dan sudah kembali ke kamarnya sambil bersenandung pelan. Aku gemas lihat perutnya yang sudah mulai buncit itu. Ya ampun, bisa-bisa makin lama aja aku dapat kakak ipar. Benar-benar harus aku tatar nih supaya rajin olahraga lagi. Lihat, pipinya mulai chubby, sebentar lagi akan setara denganku tuh!

Setelah Kak Maul berangkat, aku kembali ke dapur untuk membereskan meja makan.

"Ah, yaampun. Masih pagi ini, nanti aku masih ada UAS. Tolong jangan hadir dulu." Ucapku sedikit bergumam.

Sekilas bayangan senyumnya kembali menyapaku. Aku seperti melihatnya, nyata. Rekamannya masih utuh terpatri di otakku. Terputar otomatis, sama sekali tak ada instruksi yang memerintahnya. Serius, aku tak menyuruh. Tiba-tiba hadir begitu saja, kurang ajar kan?

Oke, lebih baik aku bersiap-siap untuk pegi menemui Mama di toko rotinya. Ah, aku harus baca-baca kembali materi yang akan diUASkan hari ini.

Aku tak boleh berpikir kemana-mana dulu, fokus UAS!

Setelah dapur rapi, aku bergegas ke kamar untuk ngambis sebentar. Mengulang materi yang kira-kira bakal keluar di UAS nanti, ini UAS terakhir. Aku harus mengakhirinya dengan baik tanpa kecewa saat kertas jawabanku dikumpulkan. Kadang aku suka begitu, tiba-tiba lupa materinya dan baru ingat setelah kertas jawabanku dikumpulkan. Pokoknya,  stay focus untuk hari ini!

Aku memukul pelan kepalaku yang tak berhenti memutar rekaman itu.

Ayolah, fokus, Re!

Aku menarik nafas pelan dan tersenyum tipis.

Sudahlah, biarkan saja selama tak mengganggu otak yang kau pakai untuk berpikir. Suara lain dalam diriku mengiterupsi.

Ah, terserahlah!

Aku menenggelamkan wajahku dibalik buku tebal bersampul biru dongker dengan anatomi tubuh manusia sebagai covernya.

Tunggu sebentar, apa apaan tadi? Apa aku sakit?

Ah, yaampun.

Kun Fayakun Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang