Chapter 10

787 36 3
                                    


Langit di luar terlihat sedikit lebih cerah dari satu jam yang lalu. Sudah 3 hari berturut-turut awan gelap itu memuntahkan isinya, saking sudah berat dan tak sanggup menampung uap air lebih banyak lagi. Bagaimana rasanya? Lega kah? Benakku seolah berbisik pada awan yang sudah bersemu putih kembali. Apa Aku juga harus memuntahkan isi hatiku supaya terasa lega dan tak terlalu sesak? Tapi kumuntahkan dimana?

Mulut cangkir yang berisi teh hangat yang kugenggam kembali mencium bibirku. Aku merenggangkan badan, sedikit berselebrasi karena pekerjaanku akhirnya selesai. Kututup laptop kesayanganku ini, mataku kembali melirik jendela, menatap langit yang semakin terlihat cerah. Angin, boleh kutitipkan rindu ini? tolong sampaikan pada si empunya.

Aku mengusap wajahku pelan. Ya Allah, jangan buat Aku kalang kabut dengan perasaan ini. Kurapikan kembali jilbab yang berantakan, boneka mario bross pemberian Sasa sebelum pergi ke Indramayu kubawa kedalam dekapan, kepala ranjang kujadikan sandaran.

Salah. Harusnya Aku bisa menghalangi hadirnya perasaan itu. Harusnya Aku tak membiarkan ia terus tumbuh memenuhi ruang kosong ini. Harusnya Aku lebih tegas supaya tak hanyut dalam kelembutan yang ramah menyapa. Begini, repot jadinya.

Rere ga boleh galau. Bukan Rere banget ini, suara dalam benakku berteriak merdu.

Ah, iya betul. Aku menaruh kembali boneka mario bross. Kakiku berlari kecil keluar kamar menuju dapur. Lebih baik Aku ngemil. Kubawa  2 toples cemilan ke ruang tamu.

Sepekan kedepan kuliahku libur, minggu tenang sebelum UAS semester genap. Ah tetap saja, libur itu mitos. Buktinya tugas terus berdatangan dari dosen. Tiket masuk untuk UAS lah, tugas untuk nilai tambahan lah, apalah itu. Intinya Aku tidak libur sepenuhnya. Aku terus mengunyah dalam diam, pikiranku yang berisik didalam sana

“Haduu habis deh cemilan di rumah kalo Rere galau,” Ya Allah, Aku lagi ga pengen nyinyir nih. “Cinta tuh emang paling bisa ya bikin orang galau,” Aku pura-pura tak mendengar, kufokuskan mata ke jendela, menatap langit yang kembali mendung, tetesan airnya sudah kembali menemui bumi.

“Makanya jangan berlebihan dalam urusan perasaan, kacau nantinya,” Aku menatapnya yang sedang merapikan kemeja kerja yang membungkus badanya.

“Aku ga berlebihan,” jawabku tegas. Lagian jam segini kenapa dia masih di rumah sih?  Mentang-mentang kantor sendiri, jadi leyeh-leyeh mulu.

“Kalo ga berlebihan ya ga bakal begini jadinya,”

“Aku ga berlebihan ya. Kakak mah keterusan sih jadinya, udah kali. Entar juga Aku lupa sama perasaanku, tenang aja,”

Semoga

“Makanya, jangan simpan dia dalam hati,” Aku menatapnya bingung, maksudnya?

“Simpan di langit, sisipkan namanya dalam setiap doamu, terutama doa di sepertiga malam,” tambahnya lagi, ia sama sekali tak menatapku, matanya fokus pada gadgetnya. Kebiasaan.

“Engga perlu segitunya lah, Kak. Aku memang suka, tapi ya udah lah, nanti juga biasa lagi,” Aku memasukkan potongan keripik singkong ke dalam mulutku.

“Ya terserah, itu hati kamu kok. Tapi kalo memang kamu mau serius dan sungguh-sungguh menginginkan dia, ya begitu cara yang benar,” tangannya ikut merogoh keripik singkong di toples, matanya sama sekali tak beralih dari gadget.

Kun Fayakun Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang