Part 8

695 34 3
                                    

Esok hari tepat pukul 08.00. Bunga telah tiba di ladang itu dengan membawa 2 layangan, menunggu kedatangan Disha. Tak lama, beberapa menit kemudian Dean datang dan menghampiri Bunga. Kenapa Dean? Padahal Ia menunggu Disha.

"Dede sudah nunggu, ayo!" Ucap Dean, tanpa menyapa atau berbasa-basi lainnya.

"Ayo?" Jawab Bunga, namun seperti bertanya.

"Mau ke Dede kan? Iya, ayo! Gue cuma jemput lo aja."

"Bareng Kak Dean?" Tanya Bunga.

"Dede yang minta. Naik angkutan umum." Jawabnya.

Dalam hati Bunga ingin bertanya kenapa? Kenapa naik angkutan umum. Bukankah jarak rumahnya tak terlalu jauh.

"Sebenarnya Jarak rumahnya gak jauh. Jalan juga bisa, tapi nanti kamu cape." Ucap Dean seakan mengerti pikiran Bunga.

"Itu sepeda siapa?" Tanya Dean kemudian, yang memang melihat ada sepeda disana.

"Sepedaku." Jawab Bunga.

"Gue pinjem ya?"

"Buat apa?"

"Buat anterin kamu. Cuma Gue takut"

"Kenapa?"

"Takut nyetirnya gemeteran karena boncengin kamu." Jawabnya santai tapi serius.

Entah Bunga harus menanggapi Dean seperti apa. Ia hanya kesal, kesal dengan setiap celotehannya. Terlalu banyak rayuan.

"Dede kasih waktu sampai setengah sembilan, harus sudah nyampe di rumah." Ucapnya, seakan berkata "cepatlah naik".
Dan Bunga pun mengerti, Ia segera naik sepeda itu. Duduk dibelakang Dean.

"Kenapa di panggil Bang Otong?" Tanya Bunga memulai percakapan. Hanya sekedar ingin tahu.

"Panggilan sayang yang diberikan Dede." Jawabnya.
Bunga hanya ber'oh' ria.
Dean pun hanya diam memperhatikan jalanan. Selama perjalanan hanya ada keheningan, tanpa percakapan lagi.

"Ini adalah rumahku. Rumahku berada di bumi. Dia baik, telah mengizinkanku berpijak diatas tanah-Nya denganmu." Ucap Dean setelah mereka sampai di rumahnya.

"Dan disana, itu adalah langit. Kau harus tahu, suatu hari aku akan pindah kesana." Ucapnya lagi sembari berjalan menuju pintu rumah.

"Dan ini adalah pintu. Silahkan kau ketuk." Lanjutnya.

Bunga sama sekali tak ingin mengerti dengan Apa yang diucapkannya. Perkataan yang tak harus dikatakan. Menurutnya. Sama sekali tak menarik.

Bunga pun masuk, menyusul Dean yang berada beberapa langkah di depannya.

"Duduklah." Ucapnya. Kemudian Dean memainkan PSP miliknya.

"Dede! Kakak ipar datang nih!" Ucapnya berteriak memanggil Dede.

Kakak ipar? Beraninya dia menyebutku dengan sebutan Kakak ipar.

"Palingan si Dede lagi di kamar mandi. Nih!" Dean memberikan sebuah koran.

"Buat apa?"

"Biar ada kerjaan, paling ngga isi teka-teki silangnya." Ucapnya.

Bunga pun menurut. Seenggaknya ini lebih bermanfaat dibanding hanya diam melihat Dean yang tengah asyik dengan PSP nya. Pun juga Ia memang lagi menggilai teka-teki.

Tak lama handphone Dean berbunyi. Sepertinya pesan masuk dari seseorang. Entah dari siapa. Dean pun mulai memainkan handphone, seperti orang yang tengah membalas sebuah pesan.

"Dede, cepetan turun. Abang mau pergi." Teriaknya lagi.

Pergi? Kemana? Bunga jadi dihantui rasa penasaran. Siapa yang mengirim pesan padanya?  Tapi sudahlah, kenapa juga harus peduli. Itu urusannya.

Diary Ibu (Cerita Usang Membawa Rindu) SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang