Part 13

563 27 0
                                    

Kenapa untuk mendapatkanmu tidak semudah membuat roti bakar?
Mendapatkan uang mungkin jauh lebih mudah dibanding dengan mendapatkan Bunga.
Bahkan soal fisika pun tidak sampai sesulit itu.

Disha kembali mengorek-ngorek buku catatan Dean, dan menyalinnya kembali di kertas miliknya. Awalnya hanya iseng doang, tapi lama-lama Disha jadi ketagihan untuk membacanya. Meskipun Dean sudah mengetahui Disha pernah mengorek bukunya, tetap saja Disha harus sembunyi-sembunyi untuk kembali melihatnya.

Disha tak mau membuat Dean geer karena Ia menyukai tulisannya.

"Kalau Abang bilang Bunga jauh lebih sulit untuk didapat, apa Bunga disini berarti adalah Kak Bunga ya? Tuh kan Apa Dede bilang Abang tuh suka sama Kak Bunga. Tapi kenapa disamakan dengan uang? Kenapa disamakan dengan soal fisika? Dede gak ngerti Bang?" Ucap Dede berbicara pada dirinya sendiri.

"Memangnya cinta itu kaya gimana sih? Apa orang yang lagi jatuh cinta sukanya nulis kaya gini ya? Abang lagi jatuh cinta? Sama Kak Bunga?"

"Dede sih cuma pernah denger kalau cinta katanya buta. Memangnya cinta punya mata ya? Berarti cinta juga punya kaki dong? Cinta juga hidup yah? Bukankah harusnya Abang bilang sama Kak Bunga? Bukan ditulis kaya gini. Mungkin itu kali yang namanya buta, bukan langsung ke orangnya tapi malah ke buku. Kaya salah alamat gitu kali ya."

Dede berbicara sembari memutar pulpen yang tengah dipegangnya.

**

Bunga yang baru saja selesai dari sholat asharnya, dengan sepeda yang selalu Ia tumpangi berpamit pada Omanya untuk pergi ke ladang. Tempat yang sudah menjadi bescame baginya.

Bunga tak pergi ke bawah pohon yang biasa jadi senderannya. Tapi ke tempat dimana Disha bermain layangan disana. Bunga sangat ingin bertemu dengan Disha.

"Kak Bunga!" Teriak Disha yang ternyata baru saja tiba disana.

Disha langsung memeluk Bunga sesampainya disana.

Bunga melepaskan pelukan Disha dan membuat posisinya sejajar dengan Disha. Mengingat tinggi Disha yang baru sepusar Bunga.

"Kok Dede gak bawa layangan?" Tanya Bunga kemudian. Karena bukan hal yang biasa jika Dede tak membawa layangan.

"Sengaja, karena Dede mau maen sama Kak Bunga."

"Maen apa kalau layangannya aja gak ada." Ucap Bunga.

"Maen yang lain Kak, sama Abang juga."

"Sama Abang? Dede kesini sama Abang?" Tanya Bunga kemudian.
Matanya ia arahkan Ke sekeliling, semoga nama yang Dede sebut tak ia temukan, artinya Dede hanya bergurau.

"Ngga Kak, Dede becanda doang. Kak Bunga jangan kaget gitu. Hehee."

"Dede ni." Syukurlah. Batinnya.

"Kenapa? Dede lucu ya? Iyah lucu banget kok Dede, ngangenin juga lagi. Hehee.." Ujar Disha.

"Iyah lucu. Lucuuu banget. Kak Bunga bawa pulang aja yah, jadi adek Kak Bunga." Bunga menyubit pipi Disha dengan gemasnya. Dede pun balik menyubit pipi Bunga. Sepertinya Dede ikut gemas dengan pipi Bunga.

"Jangan cubit pipi Dede. Nanti gak lucu lagi. Kalo Kak Bunga bawa pulang Dede, nanti Abang marah lho. Mau Kak Bunga dinikahin sama Abang?" Ucap Disha.

"Dede tuh masih kecil, jangan ngomongin nikah-nikahan."

Lagian kenapa sih Dede pake ngebahas Dean lagi. Pikirnya.

"Ya habisnya Kakak juga sih. Setahu Dede kan kalau Kak Bunga nikah sama Abang itu baru Kak Bunga bisa jadi Kakaknya Dede. Iya kan?"

"Iya, tapi gak harus nikah juga De."

"Kak Bunga gak suka ya sama Abang?" Dede bertanya menatap mata Bunga.

"Suka." Jawab Bunga. Untung saja Dean tak ada disana. Karena kata suka disini bakalan beda dalam persepsi Dean nantinya.

"Kalau suka, berarti gak ada salahnya kan kalau nikah?"

"Iya ngga."

Wajar untuk anak seumuran Disha yang belum mengerti tentang apa itu pernikahan. Bahkan untuk Bunga sekalipun belum sedikit pun Ia berpikiran ke arah sana. Masih sangat jauh rasanya, baru juga 2 SMA.

"Ya udah, berarti Kak Bunga nikah aja sama Abang. Biar Dede yang cariin penghulunya." Ucap Dede kegirangan, seperti orang yang baru saja menang undian lotre.

"Dede mau main apa?" Bunga mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.

"Dede memang anak kecil Kak. Tapi Kak Bunga jangan dulu ngalihin pembicaraan, Dede bisa ngerti kok."

"Iya, Dede kan udah jagonya. Pinter banget. Jadi Dede maunya apa?"

"Kakak nikah sama Abang."

Bunga tersenyum, mengusap halus rambut Disha.

"Dede belum tau nikah tuh kaya gimana, nikah bukan main-main De." Ucap Bunga kemudian.

"Tapi katanya, kalau dua orang saling suka, mereka bakalan nikah." Ucap Dede.

"Dede tahu dari siapa?"

"Mamah sama Papah Dede juga kan gitu. Nikah karena mereka saling suka."

Hanya karena saling suka aja itu gak cukup untuk bisa menyatukan dua orang dalam ikatan pernikahan. Toh yang namanya perasaan bisa berubah kapan pun. Jika tidak dibarengi dengan iman dan cinta bukan karena Allah, siapa yang bisa menjamin?

"Kak Bunga pikir kurang pantas kalau Kak Bunga harus ngomongin tentang nikah dengan Dede. Kita main aja ya?"

"Iya deh, Dede juga pusing." Dede menggaruk kepalanya yang padahal tak gatal itu.

"Tapi main apa? O ya, Kak Bunga ada dua layangan, Kak Bunga buatin khusus buat Dede. Main layangan aja ya, kita tanding."

"Kak Bunga nantangin Dede? Boleh boleh. Jangan kalah dari Dede ya Kak?"

"Kak Bunga pasti menang kok. Hehee.."

"Kalau Dede yang menang Kak Bunga mau ngasih apa? Sebagai hadiah buat Dede."

"Nanti Kak Bunga beliin permen deh."

"Lah, jangan permen Kak."

"Emang Dede mau apa?"

"Kak Bunga main lagi ke rumah Dede."

"Itu doang?"

"Kalau perlu nginep di rumah Dede."

"Kalau itu gak bisa De."

"Ya udah, berarti main aja. Tapi selama 10 jam yah? Gimana, setuju aja ya Kak? Pokoknya gak pake penolakan, Dede gak mau terima. Titik."

"Oke oke, Kak Bunga terima."

"Kalau Kak Bunga yang menang Kakak mau apa?" Tanya Disha.

"Gak muluk-muluk, yang penting bisa terus main sama Dede."

Rasanya seru saat Bunga bermain dengan Dede, mungkin karena Ia yang memang tak mempunyai adik. Tapi memang rasanya beda, menyenangkan.

*****

Diary Ibu (Cerita Usang Membawa Rindu) SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang