❝Sampai supermarket kesayangan lo ini lo jual juga, lo nggak bisa jadi kepunyaan gue.
Tapi emangnya gue nggak punya kesempatan lagi, ya?
Seharusnya yang nulis lagu Patience itu gue, bukan lo, Shawn. Karena--ya gausah tanya lagi kenapa.❞
Started : 1...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
silent reader makin hari makin banyak kayak bullshit pacar:(
×
Alessia's point of view
"Duh, dek. Angkotnya berhenti narik hujan-hujan gini, mah." Jelas pak satpam, terus menatap gue dengan mata duh-kasihan-banget. Gue cuman ngangguk pelan, terus duduk di kursi satpam yang dipenjemin ke gue.
Sumpah. Se-gak pentingkah gue buat lo jemput, Shawn?
Bapak James, satpam yang lain, udah siap-siap nyeritain kisah-kisah hidupnya yang enggak berujung di muka gue. Goddam' it Shawn!
"Aduh. Kamu tuh, pelenten gini, kok gak dijemput pacar?" Tanya Pak James, lalu duduk disebelah kursi gue. Dia hampir nepok paha gue, dan gue cuman bergidik ngeri.
"Gak punya pacar atuh, pak." Jawab gue, terus tersenyum sampul.
Ada seribu pertanyaan yang terngiang-ngiang di kepala gue, dan tiap pertanyaan selalu tertuju ke dia, dia, dan dia.
"Bla bla bla ha ha ha!" Pak James bercerita panjang lebar, dan gue cuman iyain aja saking banyaknya kalimat keluar dari mulut dia.
Karena Shawn ada di kepala gue.
Kadang gue berharap Shawn perhatian sama gue se-perhatian dia di mimpi gue, se-seperhatian gue ke dia, se-seperhatian dia ke orang yang ia sayang.
"Dek, kamu dengerin saya?" Pak James membuyarkan lamunan gue untuk kesekian kalinya. "E-eh tadi bapak ngomong apa? Hehehe."
"Kata saya, kalo dia beneran sayang kamu mah, bakal dia jemput." Ulang Pak James. Gue tersenyum paksa.
Boro-boro hujan deres gini Shawn mikirin gue.
Gak lama kemudian, ponsel gue bergetar-getar minta diangkat.
'Thalia Bree is calling ✆'
Gue langsung cepat-cepat menekan tombol accept, karena enggak betah dengerin pak James ngomong lagi.
"Hey! Bagaimana mawarnya?" Sapa Thalia dari seberang, dengan suara cheerful ala-alanya.
"Mawar? Thal ngirimin aku mawar? MAWAR--"
"Wowowo-woah. Slow down. Kamu kan tadi pagi bukannya dibelikan sebuket bunga?"
"Dia? Dia siapa?"
"Kamu enggak tau apa-apa? Bahkan surprise? Gak ada?"
". . ."
"Dia beli buket bunga yang harganya enam ratus ribu, buat kamu,"
"Dia siapa?"
"Dia bilang bunganya buat kamu, tapi kenapa kamu belum dapat? Lagian, itu sebuket yang kamu mau, kan?"
"Sejak kapan gue deket sama cowo sampe dibeliin sebuket mawar?"
"Shawn, Le."
". . ."
"Shawn enggak nyebutin nama si calon penerima bunga, sih. Dia cuman ngomong 'dia' selama di toko."
"U-um..."
"Berarti bukan buat kamu, ya? Wah, berarti aku salah sangka."
Perbincangan gue sama Thalia enggak berlanglangsung lama setelah itu. Cuman diisi sama suara gue yang canggung karena nahan buat nangis.
Iyalah. Bodohnya gue mikir Shawn bakal nyempatin waktu anterin gue di tanggal empat balas februari.