Sepuluh

112 8 20
                                    

Nero memarkirkan mobilnya di bagasi rumah tepat pukul delapan malam. Tadi saat mengantar Seva pulang, dia sebenarnya tidak berniat untuk mampir dan berlama-lama disana, tapi Teresa berada di luar bersama dengan Dimas. Nero pun dipanggil untuk bergabung, karena tidak enak hati untuk menolak, akhirnya Nero mampir sampai jam tujuh lebih.

Nero keluar dari mobil lalu berjalan menaiki tangga sambil bersiul, suasana hatinya jadi baik kalau sudah bersangkutan dengan Seva dan juga keluarganya. Nero merasa nyaman hadir diantara keluarga tersebut. Rasanya tiap hari juga dia ingin kesana.

Saat hendak membuka pintu rumah, sepatu Nero serasa menginjak sesuatu, dia menunduk lalu memperhatikan kakinya.

Ada selembar kertas kecil, Nero penasaran. Kemudian dia mengambil dan mengamati isi kertas tersebut.

Mata Nero menyipit melihat isinya, disitu terdapat gambar gabungan dari segitiga dan persegi, lalu persegi panjang, dan tumpukan buku-buku.

Dahinya mengernyit bingung, dihiraukannya kertas itu lalu dilempar sembarang dan jatuh di bawah meja, teras rumah Nero.

Nero melangkahkan kakinya ke dalam rumah, semua pelayan menundukan kepala mereka menyambut kedatangan Nero, salah satu pelayan maju dan bertanya pada Nero, "Aden sudah makan? Perlu bibi siapkan ayam goreng kesukaan aden?".

Nero berhenti berjalan, dia berfikir sebentar lalu kembali berjalan sambil berkata, "Gak usah bi, Nero udah makan diluar tadi"ucapnya, pelayan itu mengangguk lalu kembali masuk ke dapur.

Saat sampai di lantai dua kamarnya, Nero sempat melirik ke arah pintu di ujung yang terbuka, pintu itu adalah kamar Baron, Nero melanjutkan langkahnya tanpa berniat melirik ke arah pintu itu.

Baru saja dia memegang gagang pintu, Baron keluar dengan setelan kantornya dan terlihat kacau. Pakaian dan rambutnya terlihat berantakan.

Nero menaikan sebelah alisnya saat Baron memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Nero membalas tatapan itu dengan diam.

Sepuluh detik berlalu, akhirnya Nero yang mengakhiri aksi tatapan barusan, lalu dia bergegas membuka pintu, tapi suara Baron menginterupsi, "Ne, kita perlu bicara".

Nero menghentikan langkahnya, padahal tubuhnya sudah setengah masuk ke dalam kamar, Baron kembali bersuara "Sekali ini aja, ada yang perlu papa omongin sama kamu".

Nero menghela nafas, kemudian membasahi bibir bawahnya lalu berkata "Sepuluh menit, atau gak sama sekali".

Diujung sana Baron tersenyum lega, walaupun sikap Nero dingin kepada dirinya, tapi Baron tetap bersyukur. Nero masih mau menuruti perkataannya.

***

"Sudah lama kita tidak menghabiskan waktu berdua,"ucap Baron sambil berjalan kearah lemari kaca yang didalamnya terdapat piala atas keberhasilan Nero dan teamnya dulu dalam bertanding basket.

Nero dan Baron memutuskan untuk berbicara diruang tamu dan menyuruh pelayan untuk berada di dapur, tanpa ada yang boleh keluar.

"Dulu papa inget, waktu kecil kamu merengek minta dibelikan bola basket sama mama,"ucap Baron sambil memandangi lemari kaca itu dengan senyum kecil menghiasi wajahnya.

Nero menunduk mengingat masa kecil dirinya saat itu, memang benar Nero sampai menangis karena ingin sekali membeli satu bola basket, tapi ibu Nero melarangnya karena ibunya lebih suka dia bermain sepak bola daripada basket, Nero ingat saat melihat ekspresi kesal ibunya berdebat dengannya dulu. Sampai pada akhirnya Nero meminta pada Baron, dan dengan mudah Baron menyetujuinya karena menurut Baron, nanti disaat tumbuh dewasa Nero akan memiliki potensi di bidang olahraga, terutama basket. Karena dulunya Baron juga pemain basket di jamannya sekolah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Just a FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang