Gue berusaha buat gak liatin dia, kalau dia mergokin gue, bisa-bisa gue di sangka stalker.
Ya, meskipun gue mulai ngerasa kaya gitu sih. Dikit.
Kereta masih melaju, gue hampir deket sama stasiun gue, kebetulan stasiun pemberhentian gue itu adalah stasiun pertama, dan jadi terakhir kalau gue pulang.
Pas gerbong udah sepi, gue liat cewek itu udah bangun. Tetep cantik, tetep. Udah sepi, mungkin kalau mau gue bisa samperin dia, kebetulan bangku samping dia kosong sedangkan gue masih berdiri.
Tapi gue mikir lagi. Kayaknya kurang sreg aja gue mau ngajak dia kenalan di kereta gini. Iya gak sih?
Tapi juga gue gak tau gimana gue bisa ketemu sama dia dimana lagi, dan akhirnya gue beranikan diri buat deketin dia.
Dengan sangat canggung dan merasa bego sedunia, gue duduk di samping dia. Dia sama sekali gak merespon kehadiran gue karena terlalu asyik sama ponselnya.
"Hey." gue coba sapa dia, dia noleh, saat liat wajah gue, dia langsung copot earphonennya. Otomatis gue juga cabut earphone gue.
"Eh, kamu."
Shit. Manis banget, dek.
"Inget, ya?" tanya gue basa-basi, entah kenapa gue seneng aja denger respon dia. Dia ketawa pelan.
"Kita hampir tiap pagi bareng dan sering deketan." kata dia sambil senyum ramah, lo harus tau suara dia itu kedengaran ramah dan anggun banget.
Padahal dari penampilannya dia kaya yang tomboy.
"Haha, iya bener juga sih. Tapi aku kira kamu gak sadar." kata gue yang tanpa sadar natap dia terus, dia lagi-lagi cuma terkekeh pelan.
"Haha, sometimes aku pengen nyapa kamu karena beberapa kali interaksi tapi gak pernah kenalan." kata dia lagi masih kedengeran ramah. Astaga, kenapa rasanya tenang banget denger dia ngomong.
Dia ngomong dengan terus terang dan gak jaim-jaiman.
"Eh, haha. Aku juga, cuma takut dikira sok kenal." jawab gue sambil mengangkat bahu gue.
Gimana gue bisa lupa kalau kita juga sempet senyum-senyuman tanpa ngobrol apapun beberapa hari yang lalu. Sialnya.
Lagi-lagi sekarang dia tersenyum manis setelah denger itu, gak tau kenapa gue merasa bisa langsung akrab sama dia.
"Eh iya, aku Jimin." gue ngulurin tangan gue, sebenernya sih ragu, tapi kepalang dah.
Dia lirik tangan gue sebentar, "Aku Nessa, Hanessa." katanya sambil senyum ramah dan nyambut uluran tangan gue.
Gue sempat genggam tangan lembutnya samar sambil senyum, setelah itu gue lepas genggamannya meskipun gue masih pengen genggam tangannya.
Gue masih waras.
"Oh iya, Kalau berangkat kamu turunnya setelah aku ya? Kuliah di mana?" tanya dia masih nunjukin senyum ramahnya waktu itu.
Merasa kesempatan baik ada di hadapan gue, maka malam itu juga sebisa mungkin gue ajak dia ngobrol.
Gue tanya hal-hal umum yang gak bersifat pribadi, ngomongin kuliah dan lain-lain. Dari obrolannya, gue bisa baca kalau dia emang ramah sama semua orang.
Tapi gue harap dia bisa lebih ramah lagi ke gue setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Stranger » jimin
Kısa HikayeShe always sit next the train's door, then listen the same songs with me. -AU/bahasa tidak baku. © sarcxsm- februari 2017