12

14 2 0
                                    


Akhirnya nyampe juga ke part ini :v

Selamat Membacaaaa!!!

Tinggalin Jejak, jangan siders


***


"Harfan yang gue kenal...Harfan yang nggak pernah nyakitin orang lain."

"Itu dulu."

"Kenapa harus dulu?" Dini memejamkan matanya sejenak. Mencoba mengumpulkan beberapa kata yang akan menjadi kalimat yang akan ia ucapkan pada Harfan, "maksud gue...kenapa semuanya harus berubah?"

Harfan terlihat tengah berpikir dengan kedua bola matanya yang mengarah ke atas. Dini yakin Harfan tidak sedang benar-benar berpikir. "Lo tahu kalau semuanya bakal berubah."

"Semuanya emang bakal berubah, berubah menjadi yang lebih baik."

Harfan diam beberapa saat. Mata hitam kecilnya menatap dalam mata cokelat milik Dini. "Itu nggak berlaku sama gue."

Lagi-lagi Dini menelan air liurnya. Entah sudah berapa kali ini melakukan hal ini karena entah mengapa ia merasa gugup. Tidak gugup juga sih. Takut juga. Takut karena bisa saja Harfan menusukkan pisau yang digenggamnya ke arah tubuhnya saat ia tengah berbicara.

"Apa lo tega ngelihat semua canda tawa sahabat lo selama ini berubah menjadi jerit tangis memilukan?" Pertanyaan Dini kali ini mampu membuat garis di wajah Harfan berubah melunak secara perlahan.

"Apa lo tega nyakitin kita semua yang notabene-nya sahabat-sahabat lo? Orang yang udah lama nemenin lo. Selama 3 tahun, Faan. Selama 3 tahun gue yakin lo tahu gimana sifat kita semua seperti kita semua tahu gimana sifat lo." Mata hitam Harfan yang tadinya menatapnya dingin, berubah menjadi tatapan sendu melamun seperti mencoba membaca apa yang tengah dipikirkan Dini saat ini.

Kesempatan ini tidak ia gunakan sia-sia. Otaknya masih terus bekerja memikirkan kalimat apa yang selanjutnya akan dikatakan pada Harfan, sementara tangannya mencoba merayap perlahan. Menuju wastafel dan mengambil apa pun itu yang bisa digunakan untuk perlawanan.

"Bahkan selama tiga tahun ini, lo tega bunuh Nike dan Itok? Apa waktu tiga tahun itu nggak cukup bagi lo untuk menumbuhkan rasa percaya dan peduli satu sama lain?" Dini merasakan ada air yang menggenang di kelopak matanya. Membuat pandangannya kabur. Jika mengingat kematian Nike dan Itok...entah menagapa Dini masih belum bisa menerima itu semua. Terlebih mereka berdua mempunyai kelebihan masing-masing yang Dini tidak punya. Miris jika mengingat bagaimana tewasnya kedua sahabatnya.

"Dan setelah Nike dan Itok..., lo masih mau bunuh gue dan Naomi? Jolang? Bahkan lo tega bunuh sahabat kecil lo sendiri yang udah kenal lama sama lo. Gue... gue kangen Harfan yang dulu." Sepertinya kalimat sedih—yang dibuat dalam keadaan mendesak—darinya mampu membuat Harfan kembali merenung. Terlihat diam seolah memutar kejadian menyenangkan apa saja yang pernah ia alami dulu bersama semua sahabatnya. Tapi, jujur saja ini bukan kalimat yang Dini buat asal. Semua yang diucapkannya memang pernah terjadi di hidupnya, dan di hidup Harfan.

Tangannya yang belum berhenti bergerak itu akhirnya meraih apa yang ia dapat. Entah Dini mendapatkan apa, tapi perlahan tangannya mencoba membuka botol cairan tersebut agar lebih mudah digunakannya. Ia harus melakukannya dengan perlahan—supaya Harfan tidak mendengar bunyi yang dihasilkan oleh tutup tersebut—menoleh ke sumber suara, melihat jika Dini ingin melakukan perlawanan, dan Harfan membunuhnya saat itu juga. Mungkin menikamnya dengan pisau di setiap inci bagian tubuhnya.

TopengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang