2. Tawanan

165K 11.1K 508
                                    


Shera menatap kamar perawatan ayahnya, setengah menganga. Ini ICU untuk kelas VVIP? Satu ruangan hanya berisi satu pasien dengan segala peralatan medis yang lengkap. Shera tidak mau memikirkan berapa biaya perhari di kamar ini, bisa-bisa dirinya pingsan jika tau nominalnya. Shera mengamati dokter muda berhati dingin yang sedang memeriksa dan mengecek rekam medis sang ayah. Ia menghela nafas keras, mengingat perjanjiannya dengan dokter patung itu. Iya, wajahnya mirip pahatan patung, tanpa ekspresi, datar dan tidak pernah tersenyum sekalipun. Ada ya manusia seperti itu? Apa otot di wajahnya tidak kaku semua karena jarang dipakai bergerak?

"Ada apa?"

Shera gelagapan, karena tiba-tiba saja patung itu menoleh ke arahnya. Waaahh, dia berjalan mendekat. Bagaimana ini? Shera meremas roknya. Gugup.

"Ti tidak ada." Shera menjawab dengan suara bergetar.

Ale sampai di depan Shera. Ia membungkuk dan berhadapan langsung dengan wajah Shera. "Heh cebol, kau pikir aku tidak tau sejak tadi kau terus mengamatiku?"

"Ce cebol?" Shera tak percaya dengan pendengarannya. Dia mengatainya cebol? Ya Tuhan, seorang dokter yang dihormati banyak orang, direktur rumah sakit yang disegani, ternyata mulutnya tak lebih baik dari comberan. Tidak tau sopan santun!! Shera mengumpat dalam hati.

"Iya, memang kakimu pendek kan?" Ale berkata tanpa perasaan.

Shera menunduk mengamati kakinya. Iya! Memang kakinya pendek, lalu apa masalahnya?!

Ia memejamkan mata, menenangkan diri. Sabar Shera, sabar... ayahmu sedang sakit, jangan meladeni lelaki patung itu.

"Huaaa!" Shera terkejut, karena begitu membuka mata, wajah patung itu berada persis di depan matanya, hidung mereka bahkan hampir saja bersentuhan. Shera mengusap dadanya.

Ale kembali menegakan badannya. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi dan sama sekali tidak ada senyum. "Kenapa terus melihatku tadi?"

"Sa saya... ehh..." Shera bingung menjawab.

"Kau tertarik padaku?" Ale bertanya sok percaya diri.

"Sama sekali tidak! Bukan itu, ehmm, hanya saja saya bingung, nanti jika ada yang bertanya soal biaya rumah sakit, kenapa pindah ruangan dan lain-lain." Shera menunduk.

Ale terkejut dengan jawaban Shera, tapi ia tetap memasang wajah datarnya. Gadis sialan! Dia sama sekali tidak tertarik pada seorang Aleron? Dokter spesialis bedah termuda, sekaligus direktur rumah sakit yang memiliki banyak cabang di kota-kota lain.

"Suruh mereka menemuiku dan bertanya langsung padaku!" Aleron berkata dingin sambil berlalu meninggalkan kamar perawatan ayah Shera.

Shera bisa bernapas lega, akhirnya patung berjalan itu pergi juga. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa. Lelah. Sejak dua hari yang lalu Shera tak bisa tidur nyenyak. Bukan tak bisa, memang tidak ada tempat untuk tidur. Hanya sebentar-sebentar saja Shera tidur di kursi tunggu atau duduk di lantai dengan kepala ia tumpukan pada lututnya yang ditekuk.

Beruntung saat ini ayahnya mendapat kamar yang luamayan luas, sehingga Shera bisa menjaga sang ayah sambil beristirahat. Bukan beruntung, tapi memang sudah seharusnya ia mendapatkan ini semua, mengingat dokter patung itu telah membeli kedua ginjalnya. Entah apa yang dipikirkan Shera saat itu, sehingga dirinya setuju untuk memberikan kedua ginjalnya sebagai pembayaran semua biaya perawatan ayahnya di rumah sakit ini. Perawatan terbaik tentu saja. Shera tau konsekuensi dari menjual kedua ginjalnya adalah mati, tapi ia tidak punya pilihan lain. Semua ia lakukan demi kesembuhan sang ayah tercinta. Satu-satunya keluarga yang masih ia miliki saat ini.

Shera meluruskan kakinya yang rasanya mau copot karena beberapa hari ini tidak sempat istirahat. Nyaman sekali merebahkan badan. Niatnya, mau rebahan sebentar, Shera ingin pulang untuk mengambil baju ganti, tapi apa daya, tubuhnya yang terlalu lelah memaksa sang mata untuk terpejam. Shera tertidur.

Tawanan Aleron (TAMAT Innovel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang