Dika membasuh mukanya di wastafel kamar mandi. Dia baru saja selesai berolahraga mengelilingi komplek yang menjadi kebiasaannya setiap hari Sabtu dan Minggu. Cowok dengan tinggi 186 cm itu menatap pantulan wajahnya di cermin, terlihat sekali raut wajah yang lelah dan kurang tidur.
Setelah selesai membersihkan badan, Dika pun segera keluar dari tempat itu. Dia melihat ke sekeliling kamar yang didominasi warna kuning dan buku-buku tentang life helping berjejer di rak yang menempel di dinding kamar tersebut. Kamar milik Darel-adiknya Olin sepertinya baru saja ditata ulang karena sangat berbeda dengan sebelumnya.
Benar, Dika sedang berada di rumah Olin karena dia diminta untuk mampir oleh ayahnya Olin setelah selesai berolahraga bersama. Bagi Dika, hal seperti ini sudah bukan sesuatu yang baru pertama kali dilakukan, dia sudah sering mampir bahkan menginap di rumah keluarga Olin.
"A Dika, udah belum mandinya?" Darel yang tiba-tiba saja muncul berhasil membuat Dika terkesiap. "Dicariin sama Ayah, tuh!"
Mendengar itu, Dika hanya mengangguk dan memilih untuk menghampiri Ayah Jamal yang sedang berada di taman belakang rumah.
"Ayah, ada apa cari Dika?" tanyanya setelah sampai di taman belakang rumah. Tanpa ada rasa canggung, dia pun langsung duduk di sebelah Ayah Jamal yang tengah sibuk memberi makan beberapa ekor kelinci peliharaannya.
"Nggak apa-apa, cuma mau minta temani ngobrol aja di sini," ucap Jamal santai. "Kamu hari ini dinas sore atau memang lagi libur?"
"Kebetulan lagi dinas sore, besok lusa baru dinas pagi. Kenapa memangnya, Yah?"
Jamal terkekeh, "Ya.... nggak apa-apa. Kirain kamu sama kayak Jeffry, hari ini dia lagi libur."
"Dika liburnya kemarin, Yah. Rencananya, sih, Minggu depan mau ambil cuti tapi masih rencana itu juga."
Jamal tersenyum sebagai tanggapan ucapannya Dika. Sifat ramah dan bersahabat yang Jamal miliki membuat dirinya lebih akrab dengan Dika yang juga memiliki kepribadian yang hampir sama. Dika tidak pernah merasa seperti orang asing ketika berada di rumah keluarga itu, bahkan terkadang dia merasa bahwa rumah itu adalah rumah kedua untuknya.
"Pak Polisi, ini Ibu ada roti gandum buat kamu. Lumayan buat mengganjal perut sambil nunggu dada ayam panggangnya matang," ujar Elena yang baru saja bergabung.
"Makasih loh, Bu. Jadi nggak enak aku kalau ke sini pasti ngerepotin."
Elena tersenyum lalu menyerahkan sepiring roti gandum itu untuk Jamal dan juga Dika, "Dimakan dulu, nanti ngobrolnya dilanjut lagi."
"Iya, Bu. Dika makan rotinya, ya," ucap Dika meminta izin.
Sejak dulu, Elena dan Jamal selalu memperlakukan Dika seperti anak sendiri, tidak pernah membeda-bedakan Dika dengan ketiga anaknya yang lain. Hal tersebut membuat Dika merasa nyaman, apalagi Jamal memiliki selera humor yang sama dengan Dika. Terkadang karena terlalu asyik mengobrol, mereka selalu lupa waktu. Sambil menikmati roti gandum, keduanya kembali mengobrol seperti biasa dan saling melempar candaan khas bapak-bapak komplek. Beruntungnya Dika selalu bisa mengimbangi jokes yang dimiliki oleh Jamal, sehingga mereka tidak pernah kehabisan topik pembicaraan. Tiba-tiba saja suara tawa mereka terhenti karena dikejutkan dengan kehadiran Darel yang berlari-lari sambil berteriak. Si bungsu dari keluarga Jamaludin itu memekik, dia mengusap kepalanya yang tidak sengaja terbentur sangkar burung pelatuk milik ayahnya.
"Adek, jangan lari-larian. Itu kepala kamu kena sangkar burung, nanti woody (nama burung tersebut) stress karena terguncang," tegur Jamal.
"Ayah bukannya kepala anaknya yang dikhawatirin malah burung," protes Darel. "Mana ada burung yang stress, ayah kali yang stress."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekala Dalam Cerita | Kim Mingyu√
RomanceBarangkali, pada kategori hal yang menyenangkan sekaligus bikin candu. Mengenal sosoknya berada diurutan kedua setelah makan mie instan pada tengah malam. Mengetahui makna nama panjangnya, memanggil dengan nama kecilnya, apa kebiasaannya hingga meng...