• satu

4.8K 497 25
                                    




Butiran salju tebal sudah menutupi setiap sudut tanah di Hanyang. Namun, salju yang ia yakini tingginya nyaris semata kaki itu tidak menghentikan keinginannya untuk keluar dari biliknya, seakan bibirnya belum membiru dan dinginya salju tidak menusuk tulang.

"Mama," Seungwan menoleh segera, seorang dayangnya yang bertubuh kurus dan berkulit pucat berdiri dibelakangnya, "Cuaca sangat dingin, bukankah sebaiknya anda masuk ke dalam bilik anda?"

Ia merasa iba melihat sang dayang tua, suaranya sendiri bergetar kedinginan. Lantas ia kembali melirik biliknya yang hangat, kemudian diingatnya alasan mengapa ia begitu ingin keluar di cuaca yang seperti ini.

"Aku berniat membaca buku di Jibokjae." Seungwan mengerutkan keningnya, menyembunyikan kedua tangan di belakang punggungnya dan mencari kata-kata yang akan ia ucapkan selanjutnya, "Aku tidak akan berdiam disana terlalu lama."

Hanya kalimat itu yang akhirnya ia ucapkan pada sang dayang. Lantas, tak lama kemudian, Seungwan melangkahkan kakinya keluar dari Gyotaejeon dengan dayang dayangnya yang mengikuti di belakangnya.

Dari seluruh tempat yang ada di Istana, ia paling menyukai Jibokjae.

Ia dapat membaca berjam-jam disana, tanpa diganggu siapapun dan tidak ada suara apapun. Dalam kesehariannya, Seungwan akan membaca dua, tiga buku tipis, menghabiskan sekitar empat jam di dalam Jibokjae. Namun hari ini ia berencana mengambil buku-buku itu, membacanya di Gyotaejeon sambil minum teh, dengan kaus kaki tebal dan selimut yang melingkari tubuhnya. Selain itu, ia tidak dapat membiarkan para dayang menunggu diluar di cuaca sedingin ini.

Ia mengingat tahun tahun sebelumnya, sepertinya ia begitu membenci Jibokjae.

Ia sempat merasa dipaksa belajar hal hal yang menurutnya tidak bermanfaat dan hal hal yang tidak ingin ia pelajari. Ia selalu masuk ke perpustakaan kerajaan dengan malas, hanya untuk keluar dengan wajah kusut dan tak bersemangat. Kewajibannya sebagai seorang Putri Mahkota -saat itu, membuatnya terus menjalankan tanggungjawabnya untuk belajar, ia tak pernah sekalipun menolak belajar walaupun ilmu yang dimilikinya tak sedikit.

Beruntungnya, waktu belajarnya berangsur angsur membaik. Terima kasih kepada teknik pembelajaran yang menyenangkan dan pilihan guru tepat dari Ibu Suri yang dulu masih dengan gelarnya sebagai Ratu. Gurunya sedikit menyebalkan. Tapi, berkat gurunya juga ia menikmati pelajaran di dalam Jibokjae, akhirnya. Seungwan tersenyum kecil, mengingat sedikit memori ketika ia masih menjadi Putri Mahkota.

Melewati Geunjeongjeon, ia melihat para Dewan Negara Bagian keluar dari pintu gerbangnya. Nampaknya pertemuan hari ini sudah selesai, ia mengingatkan dirinya sendiri untuk bertemu dengan suaminya nanti malam. Sekedar menanyakan perkembangan tanaman obat yang mereka bawa dari Qing tiga hari yang lalu.

Beberapa petinggi yang melihat Seungwan menghampirinya dan memberi salam. Mau tak mau ia berhenti sejenak, walau ia menyahuti dan membalas sapaan mereka dengan setengah hati, ingin segera tiba di Jibokjae sebelum sore hari. Petinggi yang terakhir keluar adalah sang Yeonguijeong, Kepala dari Dewan Negara Bagian, salah satu petinggi kepercayaan suaminya sebagai Raja.

Seungwan hendak menyapanya, sebelum tiba-tiba mata mereka bertemu pandang. Ia tersenyum canggung, sementara petinggi tersebut membungkuk hormat sebelum menghampirinya dengan gugup.

"Senang bertemu anda disini, jungjeon- mama." Suaranya berat, kuat dan lembut di saat bersamaan, mendengarnya mau tak mau membuat sang Ratu membatin, masih tidak berubah rupanya.

Ah, rasanya ia tak pernah menyuarakan apapun yang bersifat pribadi semenjak tiga tahun yang lalu.

"Bagaimana pertemuan hari ini? Aku ingin informasi mengenai tanaman obat yang kami bawa dari Qing untuk wabah di Ibukota." Lagi-lagi Seungwan menggunakannya, menggunakan intonasi yang sering digunakan Ibu Suri. Ia sendiri tidak menyukainya, namun perlahan-lahan cara bicaranya menjadi sekaku itu.

• under the skyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang