Seungwan tidak menduga kalau ialah yang menjauhkan tubuhnya lebih dulu. Rasanya masih hangat, namun kali ini ia merasa apa yang dilakukannya dapat melukai orang lain. Tidak, ia melepasnya bukan karena ia ingin, sederhana karena ia harus. Ia juga tidak menduga kalau Min Yoongi akan masuk dan mendobrak pintu biliknya dengan kasar, menjauhkan semua perangkat piring porselennya, sebelum tiba-tiba mengguncang tubuhnya – memastikan ia tidak menelan apapun."Jungjeon-mama," Yoongi berusaha membuat Seungwan menatap matanya, "Apa anda menelan sesuatu? Apa anda makan sesuatu dari nampan itu?"
Seungwan mengerjap beberapa kali, menggeleng dengan cepat sebelum berniat mengatakan sesuatu. Sebelum itu, dua tangan Petinggi Min menelusup dibawah lengannya, mengangkatnya dengan mudah seakan-akan ia terbuat dari kapas dan mendekapnya terlalu erat tanpa pikir panjang.
Ada dua hal yang Seungwan sadari detik itu.
Pertama, bagaimana pun keadaan Istana ini, perasaannya tidak akan berubah sama sekali. Mereka tidak akan mengikuti dinamika Istana, tidak pernah. Walaupun semua alasan hidupnya ikut dibawa pemuda ini ketika ia meninggalkannya, Seungwan yakin Yoongi hanya menyerah pada keadaannya – bukan menyerah akan perasaannya. Wanita itu akhirnya tidak mengatakan apapun, sontak hanya mendorong Yoongi menjauh dari tubuhnya.
Yang kedua, jika apa yang mereka lakukan hanya bergantung pada perasaan mereka – yang menurutnya masih ada, mengapa pemuda itu harus menyerah? Bukankah mereka seharusnya masih ada di sisi satu sama lain?
Yoongi terkesiap beberapa detik setelah dua tangan kecil Seungwan mendorongnya menjauh, matanya mengerling sepersekian detik sebelum nafas yang memburu keluar dari celah bibirnya. Pemuda itu tidak mengatakan apapun, hanya menoleh keluar dan mengutuk dalam hati. Mungkin sang Raja akan menghukumnya karena meninggalkan Geunjeongjeon tanpa izin, meninggalkannya tanpa pamit, dan berlari seperti seekor harimau yang mengejar buruan terakhirnya ditanah gersang.
Namun dibanding buruan, mungkin yang dikejarnya adalah waktu.
Pemuda itu yakin Yang Mulia Raja Lee Seok akan tiba di Gyotaejeon tak lama lagi, mungkin bersama Ibu Suri yang siang ini memang berniat mengunjungi Permaisuri, lebih sering mengunjunginya karena kini wanita itu sedang mengandung buah hati yang dinanti-nanti seisi Hanseong.
"Apa yang terjadi?" Suara Seungwan terdengar tak menyenangkan di telinganya, membuatnya menoleh walau ia tak mau. "Kenapa kau masuk tanpa izin kedalam bilikku?"
Disadarinya wajah Seungwan yang polos tanpa riasan, dengan sepasang mata bengkak dan nafas yang terengah. Tentu saja Yoongi tahu kalau wanita itu mungkin kembali menangis semalaman, sebagian besar karena ulahnya malam itu. Dia memutuskan untuk tidak akan meminta maaf karena sebenarnya ia sama sekali tidak menyesal, sesakit apapun hati wanita itu.
Tidak akan mengatakannya karena mungkin Yoongi merasakan hal yang sama dengan sang Permaisuri, yakin kalau rasa sakit akan semakin jelas adanya jika ia mengucapkan permintaan maaf.
Seakan-akan keduanya mengakui kalau mereka dipisah paksa oleh kenyataan.
"Saya mohon maaf, jungjeon-mama." Yoongi menyahuti Seungwan, berusaha menghindari pandangan sayu wanita itu yang menginginkan jawaban pasti. "Saya sudah lancang."
"Aku bertanya padamu," Wanita itu kembali berbicara dan kali ini dengan nada otoriter yang sudah lama tak didengarnya, Seungwan yakin kalau Yoongi sudah tidak lagi terpengaruh tutur katanya yang berlagak tegas. Ia masih bisa memerintahnya, namun sebenarnya tahu betul apa yang ada dipikiran pemuda itu. "Apa yang terjadi?"
"Ada racun didalam kudapan anda, jungjeon-mama." Yoongi tanpa sadar sudah menurunkan kepalanya, mengutuk diri sendiri dalam diam untuk yang kesekian kalinya. Mereka hanya berdua didalam ruangan ini, ironisnya kini mereka hanya berbicara sepantasnya sang Permaisuri dengan abdinya. Tidak ada untaian kata-kata yang lembut atau keseharian mereka yang berlangsung menyenangkan. "Burung yang mencicipi makanan anda, sudah terbujur kaku dalam sangkarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
• under the sky
FanfictionWalau kini ia berdiri di tempat yang sama, perasaannya tidak sama lagi.Entah mengapa ia tidak sabar menunggu bunga bunga bermekaran, ia akan menunggu momen itu. Momen dimana angin masuk kedalam Jibokjae melalui jendela yang sama, kali ini dengan ke...