• sepuluh

1.8K 297 52
                                    

Hari demi hari berlangsung dengan cepat di tanah Hanyang.

Musim semi sudah meninggalkan jejak, membiarkan terik matahari yang tajam muncul seiringan dengan musim panas. Min Yoongi tidak membiarkan matanya terbuka walau selimut sudah tersibak dari tubuh dan alas tidurnya, bukan karena ia hendak bangun atau menjalani kegiatan sehari-harinya, suhu ruangan yang panas membuatnya merasa gerah dan menendang kain berbahan tebal itu jauh-jauh dari tubuhnya.

"Petinggi Min?" Suara yang amat ia kenali terdengar dari luar biliknya, amat lembut dan nyaris seperti bisikan. Yoongi memijat pelipisnya yang terasa kaku setelah tidur seraya mendengar kalimat lain terlontar dari seseorang di luar pintu "Petinggi Min, apa kau sudah bangun? Kau baik-baik saja?"

Selama sepersekian detik, ia kira apa yang ia dengar itu hanyalah mimpi semata. Namun, mendengar dua kalimat lagi dari suara diluar sana membuatnya sadar kalau ia sudah di tengah kenyataan.

Apa yang Yang Mulia Permaisuri lakukan di kamarku? Bagaimana ia sampai disini? Kenapa dia sendirian? Mengapa ia memanggilku seperti itu?

Yoongi melenguh lelah, mengabaikan belasan pertanyaan yang muncul diotaknya tiba-tiba, menutup sepasang matanya dengan lengan seraya mencoba duduk dari tidurnya. Sakit kepala berlebih langsung menyerang segera setelah ia duduk, membuatnya kembali berbaring di alas tidurnya yang tipis untuk meredakan rasa sakitnya.

Lupakan rasa gerah yang membuat tubuhnya terasa lengket dan berkeringat, nampaknya bukan itulah satu satunya alasan mengapa ia lebih memilih berbaring dan menutup matanya hingga petang datang.

"Petinggi Min?" Suara diluar kembali berbicara, tidak mendengar sahutan dari siapa yang dipanggilnya. Permaisuri lantas membuka pintu geser kamar Yoongi, mengintip sepersekian detik hanya untuk melihat pemuda itu terbaring lemah dengan bibir pucat dan tubuh berkeringat.

Seungwan memutuskan untuk masuk walau ia khawatir akan menimbulkan kesalahpahaman di Istana, memprioritaskan sang pemuda diatas yang lain. Bukan gegabah, wanita itu sudah bicara dengan suaminya lebih dulu. Memberi alasan yang masuk akal untuk menemui sang kekasih hati. Yoongi nyaris tidak pernah terlambat bangun pagi, terlebih lagi sakit.

Wanita muda itu duduk disamping Yoongi dengan segera, melipat kedua kakinya dengan sopan dan menempelkan salah satu telapak tangannya diatas kening Yoongi, menghela napas tipis ketika ia merasa panas tubuh pemuda itu masih tidak wajar.

"Astaga, suhu tubuhmu masih belum turun juga." Terdengar secercah kekhawatiran di suara wanita itu, Yoongi tidak menyadari ekspresi wajah Seungwan dengan alis mengerut dan mata terfokus pada buliran keringat sebesar biji jagung yang menempel di keningnya.

Yoongi mengerutkan keningnya, masih merasa ada yang janggal. Apakah ini mimpi? Seharusnya sekarang ia terbaring di biliknya, kalau ada wanita di kamarnya, pastilah itu sang ibu. Bagaimana seorang Permaisuri seperti Son Seungwan ada disini dan berusaha merawatnya selayak wanita yang bertanggungjawab untuk melakukannya?

Kemudian, tanpa diberitahu siapapun pun pemuda itu akhirnya sadar kalau tubuhnya sedang tidak berkompromi untuk sehat, yang memperparah adalah fakta kalau ia baru saja jatuh tidak sadarkan diri tepat sebelum ia masuk gerbang Istana Geunjeongjeon.

Nyatanya, mungkin ia ada di salah satu kamar kosong di Istana, baru saja dirawat para tabib dan sadar setelah akhirnya sinar matahari tidak menyinari puncak kepalanya. Pantas saja wanita itu memanggilnya dengan gelar resmi yang ia tidak sukai –tidak ia sukai hanya karena Seungwan yang mengucapkan, ada penjaga dan para dayang diluar sana.

"Saya mohon, jungjeon-mama. Anda tidak perlu khawatir." Yoongi membuka suara dengan ketus, bukan hal yang baru untuk sang Ratu yang sudah semakin mengenalnya lebih baik. Walau begitu wanita yang paling berpengaruh di Hanseong itu merenggut kesal, merasa kepeduliannya diacuhkan. "Anda sebaiknya keluar saja, anda bisa tertular dan ikut sakit."

• under the skyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang