Ini bukan yang pertama kalinya Seungwan bertemu dengan tabib Istana, ia bertemu dengan tabibnya setiap satu bulan sekali secara rutin, tanpa melewatkan satu jadwal pun. Pertemuan kali ini sedikit berbeda untuk Seungwan, yang dimana membuat wanita itu berjalan mundar-mandir di sekitar biliknya selama berjam-jam tanpa henti. Seharusnya ia bertemu dengan tabibnya kemarin, namun entah kenapa, kepala cenayang di Songsucheong meminta tabibnya membatalkan tanggal dan menundanya sampai hari ini.
"Jungjeon-mama, Tabib Seo datang menemui anda."
Suara salah satu dayangnya membuat Seungwan semakin waswas, tangannya mengeluarkan keringat dingin hingga telapak dan keningnya terasa basah walau musim panas belum tiba. Lantas wanita itu segera duduk di singgasana yang disediakan, menghembuskan napas dari mulutnya berkali-kali seraya meyakinkan diri kalau semuanya akan baik-baik saja.
Semuanya harus baik-baik saja.
"Persilahkan masuk."
Suaranya terdengar berani dan tegas, persis seperti apa yang dia inginkan. Walau begitu, hati dan pikirannya berlawanan dengan apa yang dilihat orang dari luar. Jantung sang Permaisuri tak mengikuti kemauannya untuk tetap tenang, berdegup kencang hingga rasanya sepertii memukul tulang rusuk.
Wajah Tabib Seo yang sudah tua terlihat seperti biasanya, wanita itu masuk kedalam bilik Seungwan dengan senyum tipis yang dipaksakan, seakan-akan tidak ada yang salah dan tidak ada sesuatu yang harus ia jelaskan. Sang Tabib melangkahkan kakinya dengan perlahan lahan tanpa suara dan duduk di tempat tak jauh dari Seungwan, seperti biasanya.
Seharusnya pemeriksaan kesehatannya berlangsung seperti biasa juga.
"Maaf atas kelancangan hamba. Tapi anda nampak khawatir, jungjeon-mama. Apakah anda memiliki keluhan?" Seungwan tidak menyangka kalau sang Tabib bisa membaca perasaannya walau tubuhnya sudah mematuhi otak. Semua usaha yang dikerahkannya untuk menyembunyikan rasa ingin tahu dan rasa takutnya itu tetap terlihat bahkan tanpa usaha yang berlebihan. Mungkin tubuhnya bergerak tak nyaman tanpa ia sadari, membuatnya secara tak langsung dikendalikan hati dan bergerak tanpa izin otaknya.
"Aku merasa baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak ada keluhan apapun." Ia memberi tiga kalimat itu dengan lancar, yang hanya membuatnya merasa salah langkah. Tabib Seo mengerutkan keningnya yang berkeringat, merasa curiga kalau memang ada yang salah dengan sang Permaisuri walau adanya memang begitu.
"Kalau begitu, izinkan hamba melakukan pemeriksaan seperti biasa."
Seungwan bergerak-gerak tidak nyaman di tempat duduknya – lagi. Ia ingin tahu apakah ia sehat-sehat saja, namun merasa khawatir kalau kalau ia mendengar sesuatu yang tidak ia inginkan. Ia tahu ia tidak akan bisa lolos dari aturan Istana – kabur dari dayang-dayangnya merupakan suatu pengecualian.
Beberapa detik ia lalui untuk duduk diam dan berhadapan dengan sang dayang, membiarkan Tabib Seo mengeluarkan beberapa tonik dari kantung pakaiannya. Sementara itu, satu pertanyaan melesak ingin keluar sejak kemarin malam di bibir Seungwan hingga terasa gatal, tak kuasa untuk tak berbicara.
"Apa yang membuat para cenayang meminta kalian untuk membatalkan pemeriksaan kesehatanku kemarin?" Tabib Seo merasa terkejut dengan pertanyaan Seungwan, terkesiap dan menghindari kontak mata dengan sang Permaisuri. Jangankan sang Tabib, bahkan Seungwan sendiri merasa terkejut akan pertanyaannya. Tidak seharusnya ia bertanya banyak mengenai percenayangan ataupun kejadian sekitar Istana yang bukan tanggungjawabnya.
Ia harus tahu, memang.
Tapi jelas bukan dengan cara bertanya pada orang-orang yang bekerja di Istana, wanita itu seharusnya bertanya langsung pada Raja atau melihat dan memeriksa semuanya dengan mata kepalanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
• under the sky
FanfictionWalau kini ia berdiri di tempat yang sama, perasaannya tidak sama lagi.Entah mengapa ia tidak sabar menunggu bunga bunga bermekaran, ia akan menunggu momen itu. Momen dimana angin masuk kedalam Jibokjae melalui jendela yang sama, kali ini dengan ke...