Bukan racun.
Seharusnya ia merasa lega dan bersyukur karena apapun yang terjadi padanya siang ini bukanlah akibat dari pemberian orang jahat, teh kesukaannya tidak berisi jampi-jampi hitam ataupun racun yang mematikan. Namun entah mengapa, ia lebih memilih keracunan, wanita itu rela tubuhnya terbakar dari dalam atau merasakan sakit yang tak tertahan.
Dengan mantap, ia yakin kalau ia akan merasa jauh lebih senang jika apa yang ada di dalam tehnya memanglah racun. Bahkan ia terpikir untuk meminumnya sekarang ini, racun apapun yang bisa membunuhnya, Seungwan tidak lagi peduli.
Untuk apa hidup jika perasaannya sudah mati?
Seungwan tidak merasa aneh ketika ia makan sedikit lebih banyak, tidak merasa aneh ketika pipinya – bahkan seluruh tubuhnya semakin berisi, tidak merasa aneh ketika ia ingin sesuatu yang spesifik dan makanan yang bahkan sulit dicari di tanah Hanyang. Menurut Seungwan, itulah dia. Ia yakin ialah yang gemar makan banyak hingga tidaklah perlu mempertanyakan mengapa tubuhnya semakin berisi, ia juga yakin ialah yang memang suka meminta ini dan itu ke para dayang yang masak di Istana.
Satu-satunya yang ia sadari salah adalah hanya ketika ia merasa mual ketika menghirup aroma tehnya. Memang, Seungwan tetap meminumnya, merasa kemualan itu datang dari banyak makanan yang ditelannya yang bercampur menjadi satu di alat pencernaannya.
Hukuman pada sang dayang pembawa teh tidak diberlakukan, dan sisi baiknya – hukum gantung untuk kepala cenayang di Songsucheong dibatalkan. Memang seharusnya seperti itu, ramalan yang diungkapnya benar, ramalan mengenai matahari itu benar. Satu tangan Seungwan naik dan bersarang di perutnya, entah apa yang sebenarnya harus ia rasakan selain kebahagiaan.
"Usianya kurang lebih sudah sembilan puluh hari." Ia ingat persis ekspresi wajahnya ketika mendengar tujuh kata itu dari tabibnya, tepat empat hari yang lalu sebelum hari ini. "Maafkan hamba tidak memeriksa anda dengan baik tempo hari, mama. Hamba pantas mati."
Seungwan tidak sendirian.
Wanita itu mencoba tersenyum dan memaksa kedua ujung bibirnya untuk naik.
Tentu saja ia bahagia, ia harus bisa berbahagia.
Ibu Suri merasa gembira dengan terdengarnya berita itu dari mulut tabib Istana, Seungwan bahkan tidak mau mengatakannya pada Ibu Suri dan sang Raja langsung, ia tak terpikir akan mengatakannya hingga kata-kata itu terdengar pahit di lidahnya yang kelu. Ia merajuk, bahkan menangis ketika mendengarnya, memeluk perutnya karena ia tidak percaya kalau ada sesuatu yang tumbuh didalam dirinya.
Bertolak belakang dengannya, sang Raja masuk dengan senyum merekah di wajah, tak bisa dipungkiri kalau ia merasa senang dengan keadaan ini walau ia sendiri tidak menginginkan keturunan dari istrinya. Senyum lebar merekah di wajahnya yang tampan, dan Seungwan tidak dapat menahan pikiran yang mengatakan kalau putra atau putrinya akan semenawan sang ayah.
Seungwan bergeming sejenak, mengapa ia tidak bisa merasakan apa yang ingin ia rasakan? Ia ingin merasakan apa yang sang Raja rasakan walau takdir menyakitinya, takdir tidak menginginkannya bersama wanita yang dicintainya. Kenapa ia tak merasakan apapun, tidak rasa sakit, tidak rasa kecewa dan tidak ada secercah kebahagiaan pun yang ia rasakan sekarang ini?
Suara pergerakan di luar biliknya membuat Seungwan berhenti bergerak selama beberapa detik, mengedip beberapa kali sebelum terpikir siapa yang ada di luar pagi buta gelap gulita seperti ini. Sementara itu, Min Yoongi tidak tahu mengapa ia berakhir di Gyotaejeon walau disinilah ia sekarang, duduk bersandar di ambang jendela besar yang mengarah ke taman belakang bilik sang Permaisuri.
Lagi-lagi, rasanya nyaris seperti sepasang kakinya lah yang menuntunnya datang ke tempat ini, semacam reaksi tubuh ketika kau tertarik pada sesuatu yang paling kau dambakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
• under the sky
FanfictionWalau kini ia berdiri di tempat yang sama, perasaannya tidak sama lagi.Entah mengapa ia tidak sabar menunggu bunga bunga bermekaran, ia akan menunggu momen itu. Momen dimana angin masuk kedalam Jibokjae melalui jendela yang sama, kali ini dengan ke...