Step Forward (My Little Boy)

158 8 0
                                    

Hidup setelah menikah dan mempunyai seorang anak itu tidak selamanya berjalan mulus. Apalagi jika suamimu jarang menghabiskan waktu bersamamu dan anakmu. Dia lebih sering menghabiskan waktu bergulat dengan pekerjaan-pekerjaannya di kantor. Menyebalkan. Sangat menyebalkan.

Yeah, setidaknya, itulah yang saat ini kurasakan. Aku Aelke Mariska, istri dari seorang Morgan Winata yang adalah presiden direktur untuk perusahaan besar milik keluarganya. Karena jabatan itu, Morgan jarang ada waktu untuk keluarga kecilnya. Dia pergi pagi dan pulang malam.

Aku menghela nafas sambil melirik jagoan kecilku yang sudah tertidur pulas. Ini sudah pukul 11 malam. Bryan—jagoan kecilku—tadi mengancam tidak mau tidur sebelum dia bertemu dengan ayahnya. Tapi, untung saja aku bisa membujuknya dengan berjanji bahwa besok pagi, ayahnya lah yang akan menemaninya sarapan.

Morgan sangat jarang sarapan bersama anaknya sendiri. Dia berangkat pukul 5 pagi. Disaat Bryan masih terlelap tidur. Lalu, Morgan akan pulang sekitar jam 10 atau 11 malam. Disaat Bryan sudah mulai terlelap tidur.

Tak lama kemudian, aku dapat mendengar suara deru kendaraan dari depan rumahku. Itu pasti Morgan yang baru saja pulang.

Aku dengan cepat bergegas menuju ke depan untuk membukakan pintu. Morgan berada di balik pintu dengan wajah sangat lesu. Dia tersenyum kepadaku dan mengecup pipiku sekilas sambil berkata, "aku sudah bilang, seharusnya kau tidak menungguku pulang. Aku akan selalu pulang larut malam."

Morgan berjalan melewatiku dan menghempaskan bokongnya di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya. "Bryan tidak mau tidur jika dia kau belum pulang, tadi." Ujarku yang membuat Morgan mengangkat sebelah alisnya. "Apa sekarang dia sudah tidur?" Aku menganggukkan kepalaku. "Ya. Dia baru tidur tiga puluh menit yang lalu." Morgan menghela nafas lega.

"Apa kau libur besok?" Tanyaku tiba-tiba.

Morgan terdiam sebelum menggelengkan kepalanya. "Tidak. Masih banyak proposal yang harus aku baca dan aku setujui. Rafael masih sibuk dengan Claritta. Jadi, siapa lagi yang bisa diandalkan?"

"Tapi, aku janji pada Bryan besok kau akan menemaninya sarapan." Aku kesal.

"Jika Bryan bisa bangun pukul 5 kurang, mungkin aku masih bisa sarapan bersamanya." Jawab Morgan santai.

"Kau gila? Dia tidur pukul setengah 11 malam dan kau memintanya bangun pukul 5? Dia masih berusia 3 tahun dan kau memperlakukannya seperti anak berusia 21 tahun! Bukankah kau presiden direktur di sana? Apa kau tidak bisa membuat longgar sedikit saja waktumu untuk keluarga?" Nafasku tersengal-sengal saking emosinya.

Lagi-lagi, Morgan hanya menjawab dengan santai, "aku ingin bersenang-senang bersama kalian tapi, aku tidak bisa. Oh, come on. Bagaimana jika kau membuatkan aku secangkir kopi sebelum pergi tidur? Aku sangat lelah. Badanku kaku rasanya." Morgan menyentuh punggungnya sambil mengernyit.

Aku bangun dari duduknya dan menatapnya dengan sinis. "Kau bisa membuat kopi sendiri. Aku lelah dan aku harus istirahat untuk besok." Aku berbalik dan berjalan cepat menuju ke kamarku. Aku meninggalkan Morgan sendiri di ruang tamu. Tapi, masa bodoh. Aku kesal. Aku hanya ingin menghabiskan waktu dengannya dan Bryan. Tapi, sepertinya sangat sulit.

Aku berbaring di sisi kanan ranjang tidurku sambil menatap ke arah kanan. Aku tidak mau melihat Morgan lagi. Dia hanya membuatku kesal dengan semua kesibukkannya.

Aku berusaha memejamkan mataku tapi, mataku tak kunjung terpejamkan sampai akhirnya aku mendengar suara pintu berdecit. Pasti Morgan yang membukakan pintu. Dengan cepat, aku berakting pura-pura sudah tertidur lelap.

Aku mendengar suara langkah kaki Morgan yang semakin mendekat sebelum aku merasakan bibirnya yang mengecup lembut keningku sambil berkata, "maafkan aku. Selamat malam. Mimpi yang indah." Setelah itu, Morgan berbaring di sampingku dan dia juga memunggungiku. Mungkin dia tidak mau menggangguku. Argh, sial. Aku benci keadaan seperti ini!

***

Keesokkan paginya, aku bangun dan sudah tak mendapati Morgan di dekatku. Padahal, masih pukul setengah lima pagi. Morgan biasanya berangkat ke kantor pukul lima. Aku bangkit berdiri, mengenakan sandal tidurku dan segera berjalan ke luar kamar sambil mengumpulkan kesadaranku seluruhnya.

Aku berjalan menuju ke kamar Bryan dan aku terkejut mendapati Morgan berada di sana. Tengah menatap Bryan yang tengah tertidur pulas sambil mengelus lembut puncak kepala putranya itu. Aku menyandarkan lenganku di sisi kanan pintu.

"Bryan selalu mencarimu. Dia sangat jarang melihatmu." Ujarku begitu saja.

"Aku tau." Hanya itu jawaban dari Morgan tanpa menoleh ke arahku.

"Dia membutuhkanmu." Ujarku lagi.

Morgan menghela nafas dan masih tanpa menolehku, dia menjawab, "aku tau."

Tak lama kemudian, Bryan tampak menggeliat sejenak sebelum akhirnya membuka kedua bola matanya. Morgan terdiam saat Bryan bangkit untuk duduk dan tersenyum ceria menatapnya.

"Papa," bibir mungil itu bergumam sambil mencoba untuk berdiri dan meraih Morgan. Morgan balas tersenyum dan segera meraih putranya itu. Morgan menggendong Bryan yang tampak sangat senang bisa melihat ayahnya itu.

"What's up, my boy?" Tanya Morgan dengan ceria.

"Bola?" Bryan balik bertanya dengan nada penuh harapan. Morgan berpikir sejenak sebelum dengan nafas berat menjawab, "tidak bisa hari ini, Jagoan. Mungkin akhir pekan. Kau bisa bermain bola bersama Mama, kan?" Bryan cemberut dan menggelengkan kepalanya.

Aku menatap Morgan kesal. "Jika kau tidak menemaninya hari ini, dia akan marah seharian penuh dan amarahnya dia tujukan kepada semua orang."

"Tapi, aku ada meeting hari ini. Bersama klien penting." Morgan beralasan.

Aelke berjalan menghampiri Morgan dan meraih Bryan dari Morgan. Aelke berbalik sambil menggendong Bryan dan berkata, "terserah," sebelum berjalan ke luar dari kamar Bryan itu.

Morgan menghela nafas dan menundukkan kepala. Dia tidak menyangka rumah tangganya akan serumit ini sejak dia mempunyai seorang anak.


**[Author's POV]**

Morgan baru saja tiba di kantornya. Banyak karyawannya yang menyapa Morgan dan Morgan hanya membalas dengan senyuman tipis. Biasanya, Morgan akan balas menyapa atau tersenyum lebar tapi, untuk saat ini, dia masih terbayang akan Bryan.

Morgan masuk ke dalam ruangannya dan langsung duduk menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku hangatnya. Dia memijat-pijat pelipisnya dan memejamkan matanya sampai terdengar suara handphone-nya yang menandakan adanya panggilan masuk.

Dari Aelke.

Morgan menegakkan tubuhnya dan mengangkat panggilan itu.
"Halo? Apa? Bagaimana..? Aku segera ke sana!"

Seperti orang kesetanan, setelah mendapat telepon dari Aelke itu, Morgan segera bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar dengan langkah tergesa-gesa. Morgan menghiraukan karyawan-karyawannya yang menanyakan kemana dia akan pergi.

Morgan berjalan menuju ke mobilnya dan masuk ke dalam mobilnya itu. Sebelum kembali melajukan mobilnya, Morgan sempat menghubungi asistennya dan meminta asistennya itu untuk menunda semua meeting yang harus dia jalani hari ini.

Morgan melajukan mobilnya menjauhi area kantornya dengan kecepatan di atas biasanya. Dia melajukan mobilnya seperti dulu, saat dia masih berstatus sebagai pembalap liar.

Mobil Morgan sampai di sebuah rumah sakit dan dengan cepat setelah memarkirkan mobilnya, Morgan berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Aelke sudah mengirimi di mana dia berada dan Morgan membaca pesan itu. Morgan menaiki elevator dan menekan tombol 5.

Setelah sampai di lantai 5, Morgan berbelok ke kiri dan mengedarkan tatapannya mencari keberadaan Aelke. Akhirnya, Morgan menemukan Aelke yang tengah duduk di kursi tunggu di depan sebuah ruangan seorang diri dan tengah menundukkan kepalanya. Morgan menghampiri istrinya itu.

"Aelke," Morgan menarik nafasnya. Aelke mendongakkan kepalanya dan saat sadar Morgan berada di hadapannya, Aelke bangkit berdiri dan berhambur memeluk Morgan. Morgan balas memeluk Aelke. Morgan dapat merasakan pundaknya basah karena air mata Aelke. Ya, Aelke menangis saat ini.

Aelke melepaskan pelukannya. "Bryan... Bryan..." Aelke bahkan tak sanggup melanjutkan ucapannya. Suaranya parau.

Morgan dengan cepat berjalan menuju depan pintu dan melihat ke dalam melalui kaca yang ada di pintu tersebut. Morgan ingin mati saja rasanya saat melihat Bryan tengah berada di dalam. Dengan balutan pakaian rumah sakit, kaki yang di perban, kepala yang di perban, dan beberapa selang di tubuhnya.

"Maafkan aku. Aku meninggalkan Bryan bermain di halaman seorang diri sementara aku harus membuatkan susu untuknya. Bola yang dia tendang berjalan ke jalan besar dan saat dia berjalan untuk mengambil bola itu, dia tersandung hingga kakinya bertabrakan dengan tepi jalan dan kepalanya terbentur jalan." Aelke bercerita sesenggukkan.

Morgan terdiam dan menundukkan kepalanya. Tidak, ini bukan salah Aelke. Ini salahnya. Salahnya meninggalkan Bryan dan tidak menemani Bryan bermain bola.

***

Akhirnya, setelah beberapa minggu berada di rumah sakit, Bryan diperbolehkan pulang. Selama beberapa minggu itu, Morgan tidak berangkat ke kantornya dan memilih untuk menjaga Bryan. Morgan bahkan tidak pulang ke rumahnya sama sekali.

Morgan menggendong Bryan yang sudah mulai membaik dari atas ranjang rumah sakit. Bryan tampak tengah memainkan replika dinosaurus yang Morgan belikan untuknya. Aelke tampak memasukkan barang-barang ke dalam tas ransel cukup besar miliknya.

"Terima kasih banyak, Dok, atas bantuannya," ujar Morgan kepada dokter yang selama ini merawat Bryan. Namanya Dokter Susan.
Dokter Susan tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Sama-sama, Pak, Bu. Mohon dijaga anaknya. Jadikan ini pelajaran. Anak Bapak dan Ibu termasuk anak yang aktif."

"Iya, Dok. Sekali lagi, terima kasih banyak." Ujar Morgan sekali lagi. Dokter Susan menganggukkan kepalanya.

Morgan yang menggendong Bryan dan Aelke pun berjalan ke luar dari ruangan dan ke luar dari rumah sakit. Aelke terus memperhatikan Morgan yang benar-benar menjadi semakin lengket dengan anaknya. Biasanya, Morgan sangat cuek dengan Bryan tapi, kali ini berbeda. Morgan terlihat sangat protektif. Over protektif, bahkan.

"Aelke," Aelke tersadar dari lamunannya karena suara Morgan itu.

"Ya?"

"Aku punya solusi untuk lebih menjaga keamanan Bryan saat aku harus pergi bekerja." Morgan menaik-turunkan alisnya.

"Apa?"

"Aku sudah meminta beberapa orang pekerja untuk membuat sebuah arena bermain indoor di rumah. Jadi, Bryan bisa bermain di sana, mengajak teman-temannya. Tapi, tenang saja, aku sudah memastikan semua mainan yang berada di sana terbuat dari bahan yang aman dan tidak akan bisa melukai." Morgan menjelaskan.

Aelke memutar bola matanya. "He doesn't need it at alll. He needs you."

"Well, aku juga punya solusi untuk itu." Jawab Morgan.

"Apa?"

"Apa kau tidak bosan terus berada di rumah menjaga Bryan?" Morgan malah balik bertanya. Aelke menganggukkan kepala. "Sejujurnya iya. Sangat amat bosan."

"Nah, itulah solusinya." Ucapan Morgan itu membuat Aelke bingung.

"Maksudnya?" Tanya Aelke bingung.

"Kita bisa bertukar pekerjaan," jawab Morgan.

"Maksudmu, aku menjadi wanita karir dan kau menjadi bapak rumah tangga?" Tanya Aelke yang membuat Morgan memutar bola matanya. "Bukan itu maksudku. Maksudnya, mungkin di hari-hari tertentu, kau bisa kembali ke galeri sementara aku yang menjaga Bryan di rumah."

"Tapi, aku benar, kan? Kau akan menjadi bapak rumah tangga?"

"Aku hanya akan menjaga Bryan. Tidak mengurus rumah sepertimu. Itu tetap kewajibanmu sebagai seorang istri." Jawab Morgan dengan enteng.

"Curang," ujar Aelke mengerucutkan bibirnya.


Morgan, Aelke, dan tentu saja Bryan sampai di dekat mobil Morgan. Morgan membukakan pintu untuk Bryan dan Aelke yang duduk di sampingnya. Sebelum mengendarai mobilnya, Morgan sempat menoleh ke arah Bryan yang tampak memperhatikan hiasan mobil yang ada di dalam mobil Morgan. Morgan meraih hiasan itu dan menyerahkannya kepada Bryan. Membuat Bryan tersenyum ceria.

"Aku sengaja membelikan beberapa mainan mobil untuk Bryan karena Bryan, kan, akan menjadi penerusku. Sebagai pembalap." Morgan menaik-turunkan alisnya menggoda Aelke yang tengah membulatkan matanya.

"Apa? Tidak. Dia tidak akan menjadi seorang pembalap sepertimu!" Aelke menekankan.

Morgan tersenyum dengan penuh kemenangan sambil berujar, "lihat saja nanti. Masa depan Bryan pasti menjadi pembalap sepertiku. Dia juga akan mempunyai kemampuan memikat kaum Hawa sepertiku." Aelke memutar bola matanya. "Terserah."

Morgan terkekeh sebelum mendekatkan wajahnya ke wajah Aelke. "Mungkin dia akan mempunyai fisik sepertiku tapi, aku harap, dia punya sifat sepertimu. Yang sabar, pengertian, dan tentu saja, dicintai banyak orang. Seperti aku yang mencintaimu." Setelah itu, Morgan mengecup bibir Aelke cukup lama, melumatnya, dan baru melepaskan kecupannya saat mereka berdua mendengar suara lembut Bryan yang bertanya dengan sangat polos.

"Apa yang kalian lakukan?"







THE END.

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang