BAB I

12.8K 869 22
                                    

Seorang pria tampak menghela nafasnya dalam-dalam disetiap retetan kata-kata manis dalam hatinya tercetak dan terus terucap nama seorang yang pernah mengisi hatinya.
Suara hati yang senantiasa berteriak menyeruak dimana-mana mencari sebuah jalan keluar dari sebuah rasa kesakitan dalam diri.
Jemarinya yang lebam tampak melampiaskan semuanya disana. Secara bodoh, Ia melukai dirinya.
Setiap malam, setiap hari hingga bergantinya tahun. Dunia ini seakan berhenti selamanya menyongsongkan hatinya yang terluka memberi goresan dalam sanubarinya.
Dia mendesah pelan.
Kapan penderitaan ini menghilang?
Rasanya sebuah penyiksaan bertubi-tubi menyayatnya dengan perlahan membiarkan sebuah perasaan bersalah terus terombang-ambing dalam benaknya.

Diruangan serba gelap pria itu

mengurung diri, dalam sanubari Ia berbicara dalam hati membiarkan dirinya mencurahkan semuanya hanya pada dirinya. Kesakitan yang tampaknya hanya Ia rasakan sendiri.

Orang-orang tidak mengerti dirinya, itulah sebabnya mengapa pria itu tidak ingin mencurahkan segalanya pada siapapun selain pada dirinya sendiri. Tercangkup dengan luka pada hatinya yang tak siapapun bisa menyembuhkan.
Semua orang tahu apa yang terjadi pada dirinya. Namun, pria itu tidak ingin menuntut siapapun untuk mengerti kondisinya saat ini.

Penyesalan itu mampu membunuhnya, membiaskan dirinya dalam sebuah fanorama dunia yang begitu keras menimpanya.
Dalam sebuah kertas putih tertulis deretan kata-kata yang pernah Ia ingat. Kacamata yang bertengker pada batang hidungnya terlihat berembun dan tetesan krystal yang jatuh memberi titik lemah pada pria itu.
Ruangan gelap itu, membuat dirinya tak dapat melihat sedikitpun hanya kata hatinya-lah yang mampu menulis semua diiringi dengan jemarinya yang ikut menggerakkan pena itu.

Tidak tahu apa yang Ia tulis? Tapi, pria itu tahu apa yang Ia rasakan.

Jantungnya berdegub, seperti biasa namun hatinya yang kini tidak terbiasa.
Suara isak, rintihan, serta desahan kelelahan dalam rasa hati yang semakin berkesinabung dalam diri. Rambutnya yang telah menutupi matanya, wajahnya yang kusam dan pucat serta matanya yang sembab tidak mengesankan bahwa pria itu baik-baik saja.

Jeon Jungkook. Namanya tentu tidak asing jika kalian sudah mengenal pria itu. Bagaimana masa lalunya dan apa saja yang ia lakukan hanya untuk menyakiti seseorang tanpa Ia sadari, tentunya.
Ia tidak pernah berhenti untuk mengutuk dirinya yang malang dan bersalah itu. Kehilangan sebuah cinta sejatinya. Cinta dalam hatinya yang kini telah meninggalkan raganya. Cinta yang seharusnya bertahan untuknya, cinta yang murni itu tidak ada lagi untuknya. Separuh jiwanya pergi menjauh meninggalkan jiwa yang lain ada padanya.

Hanna, Seulhee.
Dua wanita itu telah Jungkook rengut hatinya. Menyiratkan sebuah titik kebahagian dan kini menjadi kenangan. Titik itu menjadi bayangan semu.

Dan, perasaan cinta dan sayang itu masih ada untuk dua wanita itu. Namun, Jungkook juga diselingi rasa kecewa dan rasa tidak terima pada Seulhee. Karena mengingat semua yang dilakukan oleh Seulhee pada Hanna tidaklah dapat dinegoisasi lagi.

Jungkook layaknya seorang yang kehilangan sebelah tulang rusuknya. Dimana suatu bagian organ yang penting untuk hidupnya. Sebuah titik kelemahannya jika mengingat segalanya. Dia tidak mampu memendam sangat lama rasa rindu dan penyesalan itu.

Hingga dari sekian lamanya Jeon Jungkook tidak pernah menampakan diri pada dunia kini Ia bangkit dan melangkah mengantarkan sebuah kesepian yang terus membuatnya gila.
Menjauh dari ruangan gelap yang sudah menjadi tempatnya beradu sakit.
Langkahnya setengah lunglai membuka pintu kamar lalu matanya menyipit dan kini dengan cepat Jungkook menghalang cahaya sinar lampu dan diselingi sinar matahari itu dengan tangannya.

Polygamy [Season 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang