"Saat kau mendapat dua pilihan, antara hidup sengsara atau mati. Pilihan apakah yang akan kau ambil?"
***
Sore yang cerah di bawah naungan awan kelabu menandakan mendung telah melingkupi nya. Dellia tertunduk di bangku taman dengan seragam putih abu yang masih melekat di tubuhnya. Cewek itu terlihat kacau, sepatu putih yang di kenakan nya kini telah berubah warna menjadi coklat sempurna karna cipratan kobangan air di tanah basah yang mengenai nya.
Ia mengadah menatap langit yang sudah mulai menurunkan tetes demi tetes air yang sudah jenuh di tampung sang awan, lalu cewek itu bangkit melihat ke pergelangan tangan nya yaitu pada putaran jarum jam. 17:50 sudah terlalu sore untuk ia berada di taman dari jam pulang seharusnya. Akhirnya ia melangkah dan meninggalkan taman, kebetulan masih ada angkutan teralhir yang masih melintas hingga ia bisa dengan cepat menemukan angkutan yang akan mengantarkan nya pulang.
***
"Yaampun Dell, lo kemana aja sih? Dari tadi gue telfon lo gak jawab jawab!." Shinta, sepupu sekaligus sahabat bagi Dellia, orang yang selalu ada untuk Dellia, orang yang dengan senang hati mendengarkan semua curahan hati Dellia, hanya Shinta.
Shinta menggenggam kedua bahu Dellia seraya mengguncang guncangkan nya "Lo dari mana sih? Kok diem aja?." Ucap Shinta dengan nada khawatir yang tersirat di dalam nya.
Dellia mengangkat tangan di udara lalu mengangguk "Gue gak papa Shin, gue ke kamar dulu ya." Balas Dellia sambil lalu melangkah meninggalkan Shinta yang masih mematung di depan pintu.
Hari yang sangat melelah kan bagi Dellia, hal yang sangat ia inginkan saat ini adalah tidur dan melupakan semua nya. Lalu terbangun dengan senyum manis yang di sambut hangat oleh suasana hati, namun itu hanya angan angan belaka bagi Dellia karna hal seperti itu tak akan ia rasakan lagi di hidupnya yang sekarang ini.
Dellia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur seraya memejamkan mata merasakan lembut nya bantal bulu berkarakter owl kesayangan nya. Ia mendesah kuat lalu duduk "Seandainya mati itu menyenangkan gue lebih baik mati di banding hidup seperti ini." Lirih nya, kemudian cewek itu berjalan menuju kamar mandi dan menanggalkan seluruh kain yang menempel pada tubuhnya. Lalu menyala kan shower membiarkan air dingin menusuk kulit itu mengaliri tubuhnya. Sekelebat ingatan itu terlintas kembali
"Lo tau kan? Nino bukan orang yang serius. Dan asal lo tau, lo cuman di jadiin pelacur sama dia."
"Tapi beruntung nya lo, dia belum sempet ngapa ngapain lo." Ujar Brenda lagi, Dellia termenung ia hanya bisa diam mendengarkan semua kata yang keluar dari mulut Brenda.
Brenda menghela nafas "Yaudah deh, gue cuman kesian sama lo makanya gue ngomong ini. Keputusan lo udah bagus ninggalin dia karna gue, gue ucapin makasih atas itu." Brenda lalu pergi meninggalkan Dellia dengan semua fikiran kacau yang berkecamuk dalam kepala cantiknya.
Dellia menyudahi mandinya, ia kemudian berjalan keluar setelah memakai baju dan melilitkan handuk di kepala nya guna mengeringkan rambut basah karna guyuran shower tadi. Dellia melangkah menuju kasur berukuran king size nya dan duduk di pinggir kasur sambil menggosok gosokkan handuk pada rambut nya cewek itu kembali merenung.
Terlalu banyak renungan dalam diri Dellia, baginya merenung dapat membuat nya bisa merasa tenang. Dengan merenung seseorang dapat mengetahui bagaimana harus melangkah, bagaimana salah yang harus di perbaiki. Jika tak begitu akan ada banyak kesalahan yang tak disadari dan hanya akan menimbulkan lubang besar nan dalam yang akan semakin membesar dan mendalam tanpa bisa di tutupi.
"Dell?." Suara lembuat Shinta menyadarkan Dellia dari lamunan nya, cewek itu lantas mendongak dan menatap sepupu nya tersebut. Shinta mengernyit "Lo kenapa sih? Kalo ada apa apa lo bisa cerita sama gue, gue disini, ingat?." Ujarnya mencoba membuka diri Dellia tentang apa yang terjadi pada diri cewek itu.