Chapter 5 - Proses Move On

119 35 30
                                    

Happy reading guys

***
Aku tahu ini tidaklah mudah tapi bagaimanapun itu akan tetap aku coba. Karena tidak akan ada kata berhasil jika tak pernah mencoba, bukan?

Mungkin ini adalah salah satu hari terberat dalam hidupku. Bagaimana tidak, saat aku berusaha untuk bisa move on darinya. Dia malah muncul di depanku pagi ini.

Selama pelajaran, aku berusaha untuk tidak terpengaruh dengan keberadaannya. Sulit, ya memang sulit. Tapi harus bagaimana, aku tidak ingin terluka lebih dalam lagi.

"Keisha, Aldo, Mey, Dino. Kalian kelompok pertama," kata bu Mira yang sedang membagi kelompok untuk tugas wawancara.

"Nisa, Reno, Dika, Nadya. Kalian kelompok kedua." Lanjut bu Mira.

"Ya... Bil, kita nggak satu kelompok," keluh Nadya saat mendengar namanya sudah dipanggil dan tidak ada namaku di kelompok itu.

"Nggak papa lah Nad. Toh tugas ini aja, cuma sebentar. Lagian kita udah satu meja kan?" Hiburku yang membuat Nadya kembali tersenyum.

"Siska, Nina, Dani, Adi. Kalian kelompok ke lima." Aku mulai was-was karena namaku belum juga dipanggil. Tinggal dua kelompok lagi tersisa. Jangan sampai aku satu kelompok dengannya. Tuhan, aku mohon!!

"Nensy, Bila, Diki, Nino. Kalian kelompok ke enam," kata bu Mira yang membuatku bernapas lega.

"Nino hari ini absen, bu," kata Diki saat bu Mira hendak menyebutkan kelompok terakhir.

"Baiklah, kalo begitu saya ulangin lagi untuk kelompok 6 Nensy, Bila, Diky dan Ervin," kata bu Mira.

Tuhan, apa kau ingin mengujiku hari ini? Bagaimana ini? Bagaimana aku bisa menghadapinya nanti?

"Baiklah, untuk sementara kalian berkumpul di kelompok masih-masing dan mendiskusikan siapa yang ingin kalian wawancarai juga menyiapkan daftar pertanyaannya. Kalo sudah, kalian boleh keluar untuk melakukan wawancara. Usahakan jangan jauh-jauh dari lingkungan sekolah karena ibu mau tugasnya sudah selesai sebelum jam pelajaran ini berakhir, mengerti?" kata bu Mira panjang lebar.

"Mengerti bu," kata kami serempak.

"Baiklah, ibu tinggal dulu," kata bu Mira lalu keluar kelas. Dan para murid pun mulai berkumpul di kelompok masing-masing.

"Bil, lo nggak ke kelompok lo?" tanya Nadya sebelum menuju kelompoknya.

"Itu nggak perlu Nad, kita mau mendiskusikannya di sini," kata Nensy yang entah dari kapan sudah di sini bahkan Diki dan Ervin juga ada di belakangnya.

"Oh, kalo gitu gue ke kelompok gue dulu ya Bil, Nen!" kata Nadya yang kubalas anggukan.

"Oke," kata Nensy lalu duduk di sebelahku. Sedangkan Diki dan Ervin memutar kursi dan duduk di depan kami. Huhh... kenapa dia harus duduk tepat di depanku? Kenapa bukan Diki saja?

"Bil, bisa kita mulai?" kata Nensy menyadarkanku.

"Oh, I... iya," kataku terbata. Huhh... tenang Bil, bersikaplah seperti biasanya!

"Oke. Sebelum itu, kita harus menentukan siapa yang nanti akan jadi notulis, pewawancara, yang mendokumentasi juga yang mempersiapkan tempat wawancara dan membuat janji dengan narasumber," kata Ervin memulai diskusi. "Menurut kalian siapa yang cocok dijadikan notulis?"

"Bila aja, tulisnya bagus," kata Nensy.

"Gimana Bil?" Degg... dia  bertanya padaku?

"Oke," kataku singkat berusaha mengakhiri pandangannya yang meminta jawaban padaku.

"Biar gue yang ngurus tempat dan narasumber," sahut Diki yang dari tadi diam.

"Gue yang akan ngurus dokumentasinya. Jadi lo aja yang jadi pewawancaranya!" kata Nensy pada Ervin.

"Oke. Nggak masalah. Jadi siapa yang mau kita jadikan narasumber?" kata Ervin.

"Emm... gimana kalo bu Dewi? Penjual di kantin aja biar nggak jauh-jauh." Usul Diki.

"Boleh juga," kata Ervin.

"Oke, biar gue ke bu Dewi dulu keburu nanti keduluan orang," kata Diki.

"Oke, biar kami yang ngurus daftar pertanyaannya. Kalo udah jadi, nanti kami nyusul," kata Ervin.

"Siip," kata Diki lalu melenggang menuju kantin sekolah.

***
Dan di sinilah kami sekarang, di kantin sekolah mewawancarai bu Dewi.

Harusnya tadi aku menolak saja jadi notulis kalo tahu begini. Bagaimana tidak, Diki dan Nensy enak-enakkan makan bakso. Sementara aku yang mati-matian berusaha menghindari Ervin malah terjebak berdua dengannya di sini. Ralat, bukan berdua karena masih ada bu Dewi tapi tetap saja namanya kita sedang bersama.

Aku berusaha tetap fokus mencatat jawaban bu Dewi meskipun jantungku berdetak tidak karuan karena ada di dekatnya. Untung tadi kami hanya membuat beberapa pertanyaan jadi tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya.

"Oke. Buat dokumentasi, kalian harus foto bareng bu Dewi dulu," kata Nensy lalu mengeluarkan ponselnya. Lalu aku, bu Dewi, Ervin dan Diki bersiap untuk di foto.

"Vin, lo pindah ke samping Bila dong! Biar nggak kayak foto perbedaan gender," kata Nensy. Lalu Ervin berpindah ke sampingku. Aduhh... kenapa bukan Diki aja sih? Bisa-bisa bikin sport jantung lagi kalo gini caranya.

"Merapat dikit dong!" kata Nensy. Degg... jantungku berdetak lebih cepat saat kulit Ervin menyentuh kulitku. Sepertinya setelah pulang sekolah, aku harus bikin janji dengan dokter spesialis jantung kalo gini caranya.

***
Minggu, 02 April 2017

Jangan lupa vommentnya guys

                                       

Crush Is Never EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang