Chapter 17 - Pilihanku

96 22 18
                                    

Berharap kalian menyukainya..
Happy reading guys...

***
"Bila sarapan sini, sayang!" seru bunda saat melihatku menuruni tangga.

"Ya, bunda," kataku dan bergegas menuju meja makan. "Pagi bunda, pagi ayah!" kataku lalu duduk di kursi yang biasa aku tempati.

"Pagi," balas Ayah lalu kembali membaca koran paginya.

"Ini, sayang. Semalam kau tidak ikut makan malam, jadi sarapannya yang banyak! Biar nanti nggak lemes di sekolahnya," kata bunda sambil meletakkan seporsi penuh nasi goreng beserta telur mata sapi di atasnya yang masih mengepulkan asap.

Dan karena ucapan bunda itu, aku baru sadar jika semalam aku tidak ikut makan malam karena ketiduran.

"Semalam bunda udah mau bangunin kamu. Ehh, tidurnya kelihatan nyenyak banget sampai meringkuk seperti bayi. Buat bunda nggak tega ngebanguninnya. Yaudah, bunda biarkan saja." Lanjut bunda.

Bunda pernah naik ke kamarku semalam? Apa mungkin bunda lihat air mataku yang tidak sempat ku hapus?

"Capek banget ya, sayang? Sekolah dan udah gitu masih harus less?" Lanjut bunda lagi yang membuatku bernapas lega, karena kemungkinan besarnya adalah bunda tidak melihat air mataku. Kalo ya, pasti bunda sudah membahasnya dan bertanya dengan khawatir ada apa.

"Iya nih bun, mungkin belum terbiasa," jawabku dan bunda hanya tersenyum lembut membalasku.

***
Seperti biasa aku masih saja beberapa kali melihat ke arah Ervin, apalagi dengan kenyataan jika semalam aku memimpikan sesuatu yang sangat manis bersamanya.

Tapi yang tidak aku mengerti adalah kenapa mimpi itu datang di saat aku benar-benar ingin melepaskan perasaan ini?

Sekarang aku benar-benar goyah, keyakinanku untuk bisa move on dari Ervin benar-benar rapuh. Apalagi dengan kenyataan bahwa akan sangat menyenangkan jika bisa bersama Ervin dan lagi setiap kali aku ingin mencoba untuk menjauh darinya, takdir seolah malah menariknya kepadaku.

Aku benar-benar bingung dengan semua ini. Di satu sisi ada banyak hal yang menyuruhku untuk tetap bertahan. Tapi di sisi lain aku tahu diriku, kelemahanku, yang tak pernah bisa mendekatinya.

Lalu bagaimana aku berharap jika itu akan mungkin dan berhasil pada suatu hari nanti?

Belum lagi aku harus menerima sebuah resiko untuk bisa terluka lagi jika tetap bertahan, tidak menutup kemungkinan jika dia akan kembali bersama Dysa lagi atau bahkan orang lain.

Lalu mampukah aku mengambil resiko itu? Jika aku sendiri sudah tahu, betapa sakitnya hal itu dulu. Tapi apa bedanya dengan sekarang? Dengan mencintainya dalam diam seperti ini, itu sudah terasa sakit dan menyiksa.

***
Aku keluar dari kantin bersama Nadya pada jam istirahat dan akan kembali ke kelas. Tapi langkah kami terhenti tak kalah melihat kerumunan orang di depan kelas 8B.

"Ada apaan ya, Bil? Kok banyak banget orang di sana," kata Nadya.

"Nggak tahu juga," jawabku yang memang tidak tahu menahu alasan dari banyak orang yang berkumpul di sana.

"Ke sana dulu aja yuk! Mumpung jam istirahat masih panjang," kata Nadya yang dengan semangat langsung menarik tanganku untuk ikut dengannya, tanpa memberiku kesempatan hanya untuk sekedar mengatakan kesediaanku.

Menggelengkan kepala dan tersenyum maklum, aku mengikuti langkah Nadya yang masih menarikku. Sahabatku ini memang tidak ada duanya jika menyangkut rasa penasarannya akan sesuatu, pasti dengan penuh semangat dia akan memuaskan rasa penasarannya itu dengan mencari tahu apa yang terjadi sampai ke akar-akarnya.

Crush Is Never EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang